Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendingan Jadi Pedagang Tempe daripada Harus Jadi Pembatik Daerah

2 Oktober 2019   20:32 Diperbarui: 3 Oktober 2019   00:21 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terang saja, waktu yang diperlukan untuk merakit batik tulis tidaklah secepat batik printing. Agaknya, tidak cukup 1 atau dua hari merakitnya. Itupun harus didukung penuh dengan keterampilan tangan sang perakit.

Karena itulah, banyak konsumen batik memilih jalan pintas untuk mendapatkan batik. Bahkan, batik Kaganga rela mereka oper ke pulau Jawa hanya untuk dirakit secara cepat saji. Padahal, aktor pembuat batik di daerah sudah bergelar master.

Inilah yang menjadi kedukaan tersendiri bagi para produsen batik Kaganga. Selain sepi peminat, mereka juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap batik lokal. Bahkan, salah satu pengusaha batik di Curup mengutarakan "lebih terang" bekerja sebagai penjual tempe.

"Kalau usaha tempe ini pembelinya sudah pasti, sedangkan batik ini umumnya pesanan orang saja dan waktu pengerjaannya bisa memakan waktu dua sampai tiga hari per potong, selain itu kalau tidak ada yang memesan sulit lakunya."

Membatik yang sejatinya bisa menjadi usaha utama warga, malah berubah opsi menjadi usaha sampingan. Terang saja, selain sulit mendapatkan pelanggan di hari-hari biasa, pembatik lokal juga sulit untuk memasarkan produknya.

Memberdayakan Batik Daerah

Batik Kaganga pada Baju SMP. (dokpri)
Batik Kaganga pada Baju SMP. (dokpri)

Memang benar bahwa pemerintah Kabupaten Rejang Lebong sudah mewajibkan para pegawai PNS, Pegawai Swasta, bahkan pelajar untuk mengenakan batik Kaganga. Hanya saja, mereka lebih mengandalkan batik printing, bahkan rela memesannya hingga keluar pulau.

Karena kebijakan ini, batik Kaganga hanya ramai dipakai oleh kalangan pekerja dan pelajar saja. Masyarakat pun harus berpikir dua kali untuk mengenakan batik Kaganga. Terang saja, masa mereka melulu harus disamakan dengan pegawai ataupun pelajar?

Akhirnya, batik Kaganga menjadi kurang situasional ketika dikenakan. Beda dengan batik-batik produksi luar kota yang sejatinya bisa dipakai pada segala situasi. Batik-batik tersebut bisa dipakai saat kondangan, acara adat, serta jalan-jalan. Bahkan, dengan kreativitas merakit baju dengan gaya semi batik, motif batik bisa diletakkan pada kaos olahraga.

Batik Kaganga pun kurang fungsional bahkan bisa jadi teralihkan fungsinya. Batik daerah yang sejatinya untuk menunjukkan kebesaran daerah, malah menjadi pakaian resmi bagi orang-orang tertentu saja.

Tentu kenyataan ini terlalu sukuisme untuk diberdayakan. Padahal, suku Rejang sangat terwakili oleh adanya Kaganga. Akan sangat baik jika batik ini diberdayakan di daerah sendiri. Masyarakat tentu akan bangga mengenakannya, bahkan masyarakat akan meninggikan batik lokal sebagai kebanggaan daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun