Di penghujung tahun ini Indonesia menghadapi masa-masa sulit bersama asap. Keadaannya makin runyam karena rakyat yang menderita tidak hanya di satu atau dua daerah saja, melainkan hampir di seluruh sisi negeri ini. Peliknya, daerah-daerah yang selama ini "baik-baik saja" sekarang ikut terbakar dan tertular bencana asap.
Sebut saja Riau, Jambi, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi, NTT, Papua, bahkan mayoritas provinsi di Ibukota baru pun turut berasap. Kita belum berbicara tentang hutan Amazon yang "katanya" merupakan bencana kebakaran hutan terbesar di tahun ini. Kita harus sibuk menyelamatkan negeri sendiri.
Karena sudah hampir semua penjuru negeri ini berasap, kita sampai tidak hafal lagi provinsi mana saja yang telah hangus. Mirisnya, di saat kebakaran ini terus melanda, pemerintah malah sibuk mengusulkan Karhutla sebagai bencana nasional, bukannya mencari solusi dan bersama turun ke lapangan menjinakkan Si Jago Merah.
Para pimpinan dan Presiden pula sibuk menebar ancaman berupa pemecatan pejabat. Apakah mereka takut? Belum tentu. Jikapun dipecat toh mereka masih banyak uang tabungan. Harusnya pimpinanlah yang turun tangan ke lapangan dan merasakan sesaknya menghirup asap. Atau para pimpinan mau ikut-ikutan siswa "libur sekolah"?
Asap Lahir dari Dosa-Dosa Manusia
Belum ada cerita atau bahkan legenda sekalipun bahwa api bisa hidup sendiri, kecuali api neraka. Tentu saja, api-api yang berevolusi menjadi asap pekat adalah ulah manusia-manusia pintar, cerdas, dan yang tidak takut dengan apapun, bahkan dengan Tuhan sekalipun.
Kalau sudah seperti itu, tidak ada gunanya mengancam para pelaku pembakaran hutan dan lahan! Diancam 10 tahun penjara, 12 tahun, atau 20 tahun penjara sekalipun jika dari undang-undangnya belum begitu "sangar" maka akan percuma.
Sejenak kita lihat peraturan yang mengatur tentang perlindungan lingkungan berikut ini:
Di awal pernyataan tampak ada penegasan bahwa membakar lahan itu dilarang, namun ujungnya masih diperbolehkan dengan pertimbangan kearifan lokal. Kearifan lokal dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga.
Katanya dilarang, tapi jika hanya 2 hektar per kepala keluarga diperbolehkan! Beberapa kali saya periksa revisi dari UU No. 32 Tahun 2009, ternyata tak kunjung ditemukan. Nah, tampak jelas bahwa hukum pembakaran hutan dan lahan ini masih setengah hati.
Dengannya, manusia akan leluasa membakar lahan tanpa harus takut masuk penjara. Entah itu untuk keperluan membuat rumah dan kebun, atau bahkan untuk membuat pabrik. Uniknya, membakar lahan itu tak perlu sampai pikir panjang. Bahkan hanya butuh korek api saja, Si Jago Merah akan bangkit. Apalagi saat ini sedang kemarau dan kekeringan.