Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berdayakan "Bank Berjalan" di Sekolah

14 Agustus 2019   20:14 Diperbarui: 14 Agustus 2019   20:16 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sang "Bank Berjalan" mendata tabungan harian siswa. (dok.pri)

"Jangan menabung apa yang tersisa, tetapi habiskanlah apa yang tersisa setelah menabungnya". Warrant Buffet.

Jangan mentang-mentang mereka anak SD di pelosok, sehingga kita berpikir jajan mereka sedikit!

Saya sempat kaget dan iri ketika melihat anak-anak di kasih uang jajan yang "banyak" oleh orang tuanya. Terlihat ketika istirahat pertama, mereka beli es, pempek, tahu, tempe, dan pilus. Sehingga penuhlah kedua tangan dengan jajan. Tak lama berselang, datanglah Bibi pempek yang berjualan berbagai macam gorengan dengan motor. Kami sebut Bibi pempek karena teman saya tiap ikut jajan selalu beli pempek. Hehe.

Saat kami dewan guru mulai jajan, salah satu guru menawarkan kepada anak-anak: "ayoo, siapa yang mau jajan beli pempek, gorengan, kesini!" Terang saja, beberapa anak agak takut dan minder karena tak biasa jajan selain di kantin sekolah. Tiba-tiba, anak yang kedua tangannya penuh jajan tadi datang lagi. Dan benar saja, ia pun ikut membeli beberapa buah gorengan. "Maklumlah Zy, bosan pula mereka tiap hari hanya jajan di kantin sekolah yang menunya itu-itu saja. Celetuk salah satu guru senior". Saya tambah kaget dan tambah iri!

Jujur saja, zaman saya SD pada era 2000-an boro-boro di kasih uang jajan, sekolah saja jalan kaki. Jika dapat uang jajan dari ayah atau kakek, saya begitu kegirangan. Begitupun dengan teman-teman saya pada waktu itu. Mereka beberapa kali sering berhutang bakwan dan pempek.

Kaget dan iri saya belum selesai, malah bertambah tepatnya pada istirahat kedua. Teman saya, yang akrab di sapa dengan Pak Randy, sang guru olahraga idola dengan rambut ikal dan jenggot menawan di serbu oleh anak-anak kelas 1 dan 2. Ya, beliau telah ditugaskan menjadi "Bank Berjalan" yang menampung cita-cita dan harapan para siswa di masa depan.

Sang
Sang "Bank Berjalan" mendata tabungan harian siswa. (dok.pri)

Sembari Pak Randy mendata tabungan siswa, saya beberapa kali melirik buku pink tabungan siswa. Dan benar saja, tabungan mereka banyak! Rata-rata mencapai ratusan ribu setiap bulannya. Belum cukup sampai disana, saya langsung memeriksa tabungan si "anak" yang banyak jajan tadi, ternyata ia juga rajin menabung. Dalam 1 hari, minimal 5.000 ia tabung dan rata-rata ia menabung hingga 15.000 per hari. Sungguh hebat bukan?

Menilik pengalaman, tampak keberadaan "Bank Berjalan" di SD sungguh bermanfaat. Terlebih lagi di sekolah ini belum ada Bank yang mampir untuk siswa. Bank yang mampir hanya berbentuk selebaran. Kalo bukan selebaran kredit rumah, ya menawarkan pinjaman uang untuk masa depan. Hanya membuat kami para guru muda ini "tergoda" dengan duniawi. Hehe. Maka dari itu solusi terbaik adalah dengan memberdayakan "Bank Berjalan" di sekolah.

Orang Tua Siswa Antusias

Ternyata orang tua siswa sangat mengapresiasi ide para guru untuk "menyimpan" uang siswa melalui "Bank Berjalan" di sekolah. Saya masih teringat curhatan salah satu orang tua siswa kepada guru kami: "Waii, bersyukur nian di sekolah ini bisa nabung. Jadi nanti kalu anak saya tamat SD tidak gusar lagi mau daftar ke SMP atau MTs!"

Saya pun bergumam riang dalam hati: "Tentu saja mereka senang. Bagaimana tidak, jika sebulan sudah ratusan ribu, berapa banyak tabungan mereka 5-6 tahun kemudian?, bisa-bisa mengalahkan gaji pegawai!". Orang tua sangat terbantu saat anak mereka bisa dan biasa menabung. Begitupun kami para guru, justru lebih senang karena para orang tua antusias dan mempercayakan anak mereka secara penuh untuk sekolah di SD ini.

Dalam masa-masa "ceklik" alias krisis berkepanjangan seperti sekarang ini, orang tua seringkali dihadapkan dengan masalah-masalah finansial yang tak terduga. Bisa bobrok dengan tiba-tiba. Terlebih lagi bagi mereka yang mayoritas bekerja sebagai petani. Hasil panen yang tak menentu menyebabkan mereka kepayahan dalam mengelola uang. Jangankan untuk menabung, untuk keperluan sehari-hari saja sudah sulit!

maka darinya, dengan menitipkan uang ke "Bank Berjalan" di sekolah setidaknya kepusingan mereka terkurangi. Mereka juga tidak perlu repot-repot cari angkot dan turun ke pasar agar bisa menabung di Bank Swasta. Mereka hanya perlu menitipkan uang kepada anak mereka yang nantinya akan di simpan di "Bank Berjalan" sekolah.

Siswa Terbiasa Menabung dan Mandiri

Bukan hanya orang tua saja, siswa/i pun begitu antusias untuk menabung. Mereka rela melawan rasa takut masuk ke ruang guru demi menitipkan uang ke "Bank Berjalan". Mereka juga rela memotong uang jajan, demi bisa menabung lebih besar dari temannya.

Tentu saja seorang siswa akan bangga jika tabungannya lebih besar daripada tabungan temannya. Dengan begitu, temannya pun akan ikut termotivasi untuk menabung lebih besar di hari esok. Caranya bagaimana? Ya. saat pulang kerumah, mereka akan "merengek" kepada orang tua agar diberi uang tabungan lebih besar.

Biarlah mereka terus seperti itu. Ini positif, karena niatnya untuk menabung. Bukan untuk beli kuota, karena mereka tidak punya smartphone dan disini tidak ada sinyal. Dan bukan untuk beli smartphone, karena sejatinya mereka belum butuh itu.

Beberapa kali saya juga sempat bertanya kepada siswa, untuk apa tabungan mereka. Ternyata jawabannya begitu menyentuh. "yaaak, untuk nanti aku daftar SMP di pasar Pak", "aku mau beli sepeda nanti Pak", "biar nanti bisa beli sepatu baru, tas baru, dan baju baru kalo lebaran Pak". Dan jawaban-jawaban indah lainnya.

Kenapa kok indah? Ya. mereka telah belajar dan terbiasa mandiri. Sejatinya, yang hebat adalah saat dimana mereka yang masih belia sudah bisa meringankan beban orang tua. Biarpun uang itu dari orang tua mereka sendiri, tapi tetap itu adalah sebuah kebanggaan.

Sungguh, menabung adalah hak semua orang dimanapun mereka berada. Orang yang kaya tidak semuanya karena warisan, melainkan karena mereka berinvestasi sejak dini. Dengan menabung, kemandirian perlahan mulai terbentuk dan menjiwa. Akan tiba saatnya muncul sebuah perasaan dimana mereka menghargai uang, meski sekecil apapun nilainya.

Dengan adanya prinsip seperti itu yang tertanam pada anak, sungguh mereka sebenarnya telah menanam bibit kekayaan yang akan mereka panen dimasa depan.

Salam.
Tebat Karai, 14 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun