Cita-cita kami guru pinggiran tidak muluk-muluk. Yang penting anak-anak bisa baca, bisa tulis, dan bisa hitung. Soal prestasi tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional? Hmmmm. Pikir-pikir dulu!
Agaknya pendidikan semakin senjang, walaupun matahari metropolitan selalu bersinar cerah. Kami yang di ujung dan pinggir ini tergugat mendung. Hari demi hari, bulan demi bulan, semester demi semester, kami kepayahan memenuhi target nasionalis.
Biarlah pemerintah menuntut banyak hal. Mau KKM 70, 80, atau bahkan 100 sekalipun terserahlah. Toh nilai rapor anak tidak menjamin kecerdasan spiritual dan kesuksesan masa depan. Anak-anak sudah mau sekolah saja sudah beruntung. Kami dan sekolah menerima siapapun dengan lapang dada.
Fasilitas primer kami lengkapi. Baju kami beri, sepatu kami beri, tas kami beri. Semua adalah bentuk keikhlasan bertabur senyuman. Yang penting kalian datang, ceria, dan menyapa kami dengan lembut. Kalian telat kami tidak akan segera marah. Karena kami tahu, perjalanan kalian bak menyebrang  bukit dan sungai hingga berjam-jam. Kalian tak bersepatu kami tak marah. Karena kami sadar, kaki kalian kadang lebih kuat daripada motivasi kami mengajar.
Daripada kami terenyuh kesepian duduk di ruang guru, mending kami menatap kalian dengan A-Be-aba=Aba. I-en-ini= ini. Be-ubu-De-idi=Budi. Atau yang lainnya. Setiap senin kami begitu bersemangat memberikan amanat. Biarpun bendera merah putih yang berkibar kini telah terurai benang. Biarpun baju putih merah bersih kalian tercoreng dengan lubang-lubang kecil, kami senang.
Beruntung Anak Punya Motivasi Untuk Sekolah
Sungguh kata "ujung" dan "pinggiran" itu dilematis. Anak-anak yang bersedia sekolah tidak semuanya karena perintah orang  tua. Ada yang di ajak teman, atau dipaksa kerabatnya dari kota.Â
Kondisi finansial yang "susah" menyebabkan para orang tua berkerut dahi untuk menyekolahkan anak mereka. Banyak dari mereka yang berpikir bahwa untuk apa anak mereka sekolah, jika nanti ingin kerja pake duit!
Kalaupun anak-anak mereka sekolah, toh belum tentu mereka perhatikan. Sungguh, beberapa hari dalam seminggu kami kadang  bersedih melihat anak-anak.Â
Ada yang datang tanpa sepatu, ada yang datang dengan baju kusut, celana koyak, bahkan ada yang datang dengan memegang celana. Ternyata ia tidak diberikan ikat pinggang walau hanya seutas tali rafia.
Kami sangatlah kesal, prihatin sekaligus bangga. Kesal dengan orang tua mereka yang tidak peduli dengan anak. Prihatin dengan anak yang tak diperhatikan. Dan bangga dengan anak, beruntung dia mau sekolah.