Ingat dengan cita-cita pertama kali kalian?
Mau jadi apa? Polisi, dokter, tentara, pilot, astronot, pengusaha, atau orang kaya? Kalo saya ingin jadi dokter. Upss, cita-cita menjadi guru belum disebut. Terang saja, profesi guru agaknya jadi opsi terakhir kita dimasa kecil. Dan itu tergantung dengan situasi pembelajaran kita sewaktu SD.
Lihat guru yang baik, rapi, perhatian, pintar, dan mungkin cakep akhirnya beberapa dari kita mulai berambisi jadi guru. Tapi jika lihat guru yang gemuk, suka marah, suka cubit perut dan pukul jari dengan mistar membuat sebagian dari kita tidak terobsesi jadi guru. Kita begitu polos, sehingga apa yang tetangga dan sanak kita tawarkan, kita mengiyakan.
Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pemikiran dari konkret, semi-abstrak, hingga abstrak, upaya mengejar cita mulai banyak bayang-bayang. Tepatnya pada masa SMA. Masa dimana kita mulai banyak pertimbangan, dan mulai banyak mendapat tekanan. Mau tidak mau, hal ini sangat menganggu cita-cita kita, terlebih lagi jika kita lahir dalam keluarga berfinansial menengah ke bawah.
Antara Optimis, Nekat, dan Move on
Memasuki masa SMA, agaknya cakrawala berpikir kita mulai terbuka, tapi masih begitu labil. Uniknya, disaat kita labil datang begitu banyak "tamu tak diundang" berupa saran. Ketemu dengan guru muda, sarannya gapai cita-cita setinggi langit. Ketemu guru tua, sarannya kadang-kadang pertimbangkan kemampuan orang tua. Belum lagi dapat saran di masyarakat untuk langsung kerja saja, cita-citamu itu terlalu mahal!
Teringat waktu itu, saya kelas 1 SMA, mungkin juga menjadi awal move on dari cita-cita lama. Saya ditanya oleh seorang  guru muda, "Ozy, cita-citamu apa?", tatapnya dengan setengah sinis. Saya jawab dengan lantang: "jadi dokter pak, dokter hewan". Guru itupun segera menyela dengan agak kasar: "dokter? Payah jadi dokter itu, kuliahnya butuh dana sampe setengah  milyar, mampu nggak kamu?"
Saya pun tertunduk, dan berpikir realistis. Terang saja, keluarga saya bukanlah keluarga kaya alias pas-pasan. Sanak juga sama. Dari sinilah saya mulai move on cita-cita. Akhirnya saya mengganti cita-cita menjadi dosen matematika. Ya, rasanya lebih realistis. Karena saya menyukai ilmu hitung dan beberapa kali ikut olimpiade matematika. Optimis pun mulai timbul.
Namanya perjalanan hidup, tidak indah kalau tidak ada masalah. Setelah lulus SMA, saya dengan pedenya ingin ikut tes masuk perguruang tinggi di Bengkulu. Tapi mirisnya, tidak ada dana sedikitpun hanya untuk ongkos saya pergi dan mendaftar di perguruan tinggi tersebut. Jujur saya, hati terasa linu dalam beberapa hari. Terkadang ada rasa malu karena sudah berceritera dengan teman bahwa saya akan kuliah di Bengkulu.
Dan akhirnya, antara pesimis dan nekat saya memilih kuliah di STAIN Curup dengan jurusan Pendidikan Agama Islam. What? Dari matematika nyebrang ke PAI? Sungguh terisak rasanya! Hanya berbekal Guru Baca Tulis Al-Qur'an saya langsung diterima di kampus "dekat rumah" tersebut.