Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Literasi Digital? "Maaf, Kami Tak Ada Sinyal!"

29 Juli 2019   21:41 Diperbarui: 31 Juli 2019   08:06 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Seni Mellani

"Di  Era Digital Pengetahuan dan Informasi seperti udara, yang bisa kita dapatkan hanya dengan bernapas".

Permisalan ini agaknya tepat untuk mewakili perkembangan informasi dan ilmu pengetahuan saat ini. Yang penting ada Android/PC, kuota, dan sinyal semua beres. Dari ilmu alamiah, positif, hingga "negatif" pun ada.

Mulai dari berbagai jenis buku, komik, jurnal, bahan bacaan, humor, hingga quotes yang disenangi para siswa dapat "dicomot" dalam sekejap mata. Tidak heran, mengapa kurikulum 2013 melarang guru memberikan PR kepada siswa. Karena jika jadi PR, siswa bisa benar semua karena pulang sekolah mampir ke dukun "mbah Google". 

Maka dari itu, memanfaatkan teknologi digital adalah salah satu inovasi cerdas untuk literasi anak. Tentu saja dengan pengelolaan yang baik, pengawasan yang benar, serta penggunaan yang tepat sasaran. Intinya, pemanfaatan teknologi digital tetap tidak keluar dari tujuan literasi dan pendidikan itu sendiri. Tapi, apakah program ini untuk mereka yang di kota saja?

Sejenak kita duduk dan pandang sekolah "pinggiran". Mulai dari siswa dan guru seadanya, infrastruktur seadanya, akses jalan seadanya, koleksi buku bacaan seadanya, hingga tidak ada sinyal. Lagi-lagi miris! Beberapa kali rasanya kita mendengar bangku-bangku sekolah seakan berkata "kami juga ingin maju, tapi bagaimana keadaannya, kok seperti ini? "

Keluh kesah berhamburan. Bagaimana tidak, literasi yang  diterapkan sekolah-sekolah pelosok masih berpegang pada buku lawas di saat Kementerian Pendidikan terus merevisi kurikulum dan pembelajaran. 

Jangankan inovasi pembelajaran, buku-buku revisi tahun kemarin pun banyak yang belum sampai. Lalu bagaimana kami bisa menyaingi sekolah metropolitan?

Terang saja, pemberlakuan pendidikan saat ini memiliki kesenjangan yang terlalu desentralis. Bukan semata-mata ingin menyalahkan guru atau pemerintah daerahnya yang kurang literasi, tapi keadaannya yang seolah tidak bisa dipaksakan. Mau bagaimana lagi jika sinyal pun tak ada.

Meskipun guru-guru bisa saja membawa infokus dan laptop untuk mengenalkan literasi digital di sekolah, siswa tetap akan "mandeg" karena perkara sinyal. Jangankan siswa, guru pun jadi mandeg informasi karena kendala sinyal. 

Terbukti dengan beberapa kali saya mengalami keterlambatan dalam mengumpulkan berkas administratif. Bukan ingin menapik alasan, tapi informasi yang disebar adalah via WA, yang membuat kami guru di daerah non-sinyal baru tahu infomasi setelah "turun gunung". biarpun demikian, semua yang berakar kesulitan tetap akan berbuah kemudahan. Semua pasti ada solusinya.

Solusi terbijak adalah guru selayaknya tidak putus asa dan terus mau belajar. Jika tidak memungkinkan untuk menerapkan digitalisasi informasi di sekolah, maka kita sebagai pendidik berusaha untuk mendigitalisasikan diri kita dan menularkannya kepada siswa secara berangsur-angsur. Caranya bagaimana?

Guru berusaha untuk update diri dengan "sekolah digital". Di waktu luang, berusahalah untuk men-download bahan literasi digital dan jika bisa dibagikan kepada siswa dalam bentuk print-out dan fotokopi. Memang, kedengarannya agak mahal, tapi semua bisa teratasi dengan manajemen sekolah yang matang.

Kemudian, pihak pemerintah daerah juga harus turun tangan dalam menjembatani ilmu. Bisa dengan sosialisasi bertahap ke sekolah-sekolah pelosok, bisa dengan rotasi guru beprestasi agar pindah ke pelosok, dan yang paling penting adalah selalu menambah perbendaharaan bahan literasi di sekolah.

Dengan jalan ini rasanya sekolah pinggiran dan pelosok bisa tetap berliterasi digital dan mengejar ketertinggalan. Sejatinya, pendidikan nasional itu menjunjung tinggi kesetaraan. 

Kemajuan bukan hanya milik kota metropolitan saja, melainkan setiap titik pendidikan di Indonesia. Kami juga butuh perhatian, maka dari itu jadikan kami pusat perhatian untuk memajukan pendidikan Indonesia. 

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun