Solusi terbijak adalah guru selayaknya tidak putus asa dan terus mau belajar. Jika tidak memungkinkan untuk menerapkan digitalisasi informasi di sekolah, maka kita sebagai pendidik berusaha untuk mendigitalisasikan diri kita dan menularkannya kepada siswa secara berangsur-angsur. Caranya bagaimana?
Guru berusaha untuk update diri dengan "sekolah digital". Di waktu luang, berusahalah untuk men-download bahan literasi digital dan jika bisa dibagikan kepada siswa dalam bentuk print-out dan fotokopi. Memang, kedengarannya agak mahal, tapi semua bisa teratasi dengan manajemen sekolah yang matang.
Kemudian, pihak pemerintah daerah juga harus turun tangan dalam menjembatani ilmu. Bisa dengan sosialisasi bertahap ke sekolah-sekolah pelosok, bisa dengan rotasi guru beprestasi agar pindah ke pelosok, dan yang paling penting adalah selalu menambah perbendaharaan bahan literasi di sekolah.
Dengan jalan ini rasanya sekolah pinggiran dan pelosok bisa tetap berliterasi digital dan mengejar ketertinggalan. Sejatinya, pendidikan nasional itu menjunjung tinggi kesetaraan.Â
Kemajuan bukan hanya milik kota metropolitan saja, melainkan setiap titik pendidikan di Indonesia. Kami juga butuh perhatian, maka dari itu jadikan kami pusat perhatian untuk memajukan pendidikan Indonesia.Â
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H