Beberapa saat sebelum saya terbitkan tulisan ini, saya sempat melihat tayangan Jak TV yang memberitakan video dua orang remaja sedang trek-trekan di atas Makam. Sungguh miris!
Sejak zaman pra-Modern yang namanya makam pastilah berkesan mistik, keramat, dan harus dihormati. Biarpun makam itu hanyalah setumpuk batu besar atau gundukan tanah sekalipun, orang tua kita tidak pernah mengajarkan untuk semena-mena berjalan melewatinya. Mulai dari memasuki makam, kita sudah harus menaati berbagai adab, mulai dari kepantasan pakaian, menjaga pembicaraan, hingga berjalan "merendah" sebagai bentuk dari penghormatan suatu makam.
Terang saja, makam adalah tempat kita setelah meninggal. Jikalau kita meninggal dan dimakamkan, tentulah kita juga ingin dihormati dan dikenang. Kita tidak ingin makam kita dihancurkan, berlumut, tumbuh belukar, apalagi sampai dipijak-pijak sembarangan, dengan ban motor pula. Sungguh jauh dari kemanusiaan yang beradab.
Sesungguhnya dari SD bahkan TK, kita selalu di suruh untuk literasi "Pancasila" dan bahkan menginjak kelas 4-5 SD kita sudah hafal nilai-nilai yang terkandung dalam butir Pancasila, terutama sila kedua, yaitu kemanusiaan yang  adil dan beradab. Yang jadi sorotan utama adalah "beradab". Jika sudah remaja, berarti hampir 9 tahun berliterasi "Kemanusiaan yang adil dan beradab", tapi kok belum beradab? Lagi-lagi miris!
Mari kita renungkan perkataan Imam Malik,
"Pelajarilah Adab Sebelum Mempelajari Ilmu".
Dengan berkembangnya era digital saat ini, ilmu dan bahan literasi sangat mudah didapat. Hanya bermodalkan kuota dan nge-slide layar Android. Tapi, yang menjadi masalahnya sekarang adalah banyak sekali orang-orang yang pintar, tetapi tidak "beradab"!Â
Mulai dari menyampaikan ilmu dengan keras dan bahasa yang kasar, berdebat dengan brutal, beropini dengan penuh celaan, hingga penindasan terhadap guru. Perilaku ini tentu tidak bisa dianggap sepele. Meskipun tujuan pendidikan kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan manusia ideal, kita perlu garis keras 'Akhlak' di awal cipta.
Kita ingat saat kita masih bayi, orang tua kita pertama kali mengajarkan kita bagaimana caranya senyum. Dan ternyata, senyum adalah adab yang utama, yang paling ringan, dan bernilai sedekah. Dan saat kita renungkan sekarang, ternyata melihat orang yang senyum dengan kita malah memberikan kita keleluasaan hati untuk senantiasa menanggapi orang itu dengan hal yang positif.
Kemudian, menginjak anak-anak, orang tua selalu mengajarkan kita untuk menyalami setiap tamu yang datang, dan bahkan sampai kita dewasa pun seperti itu. "Nak, salam dengan beliau, beliau adalah sanak/tetanngga/saudara/kerabat ibu/ayah", seperti itulah kira-kiranya. Dan itu adalah adab utama. Setelah itu, barulah kita diajarkan mengenal literasi. Mulai dari mengenal A, B, C, dst, hingga mendalaminya dalam berbagai bahasa.