Bagi sebagian orang, menjadi ASN adalah cita-cita. Banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi ASN, karena mereka yakin ASN menjamin anak mereka mendapat kehidupan yang lebih sejahtera. Gaji pokok dapat, tunjangan pokok dapat, THR dapat, gaji 13 pun dapat. Belum lagi jika sudah menjadi ASN profesional, maka ada lagi tambahan gaji sertifikasi. Dengan mendapatkan semua itu anak dianggap "aman" dan bermasa depan cerah. Padahal, nyatanya sama saja.
Malahan, besarlah penghasilan orang yang berwirausaha atau agen usaha daripada ASN. Berbeda dengan kesan yang sudah berkembang dimasyarakat, terutama dipedesaan bahwa jika tidak ASN tidak sejahtera. ASN sudah dianggap pekerjaan yang bergengsi tinggi. Jika ASN belum menikah, terlebih laki itu laki-laki, maka akan banyak tawaran perjodohan. Lalu kemarin kemana aja, kok baru datang sekarang? Hehe.
Mengusik pengalaman pribadi, sebelum saya lulus ASN, saya bekerja sebagai guru tidak tetap di SMP Negeri. Jangan bicara gaji, tentu saja tidak seberapa. Jika ditotalkan, gaji perbulan ketika itu 800-900 ribu, dan diterima 3 bulan sekali. Syukur, meskipun hanya segitu, tetap cukup untuk isi pulsa, biaya transportasi, dan saya pun bertaruh dan nekat untuk melanjutkan pendidikan ke Magister. Karena waktu itu ada tabungan uang untuk pembayaran administrasi di semester pertama.
Agaknya saya tidak pikir panjang, dan waktu wawancara tes pendaftaran di kampus, dengan yakinnya saya menjawab mampu dengan biaya sendiri. Mengingat orang tua hanya bekerja sebagai pembuat gula aren, dan saya punya adik 2 yang keduanya sudah bersekolah.
Waktu itu, pendaftaran nyaris 7juta, dan semenjak itu saya tidak punya tabungan. Modal yakin saja. Ternyata setelah dijalani 1 semester, keuangan saya baik-baik saja meskipun dengan pendapatan yang minim. Pada masa-masa kuliah dan kerja ini, tiba-tiba ada peluang ASN yang dibuka pemerintah, tepatnya bulan september 2018 kemarin.
Sejak saat itu, timbullah harapan besar dari orang tua. Mereka sangat berharap saya lulus. Dan akhirnya setelah melalui proses yang panjang, dan saya pun pernah sakit selama sepekan karena hujan saat tes SKB di Bengkulu, alhamdulillah saya lulus. Keluarga, teman-teman, dan para kerabat guru begitu senang campur sedih. Mereka senang karena saya lulus, namun sedih karena saya harus berpisah dari SMP.
Dan pada beberapa waktu luang disaat saya di SMP sembari menunggu SK Tugas, Pak Fauzi dan Pak Wamin berbagi pengalaman dengan saya, terkait keuangan dalam rumah tangga. Pak Fauzi mengatakan dengan lantangnya "zy, carilah bini PNS samo cak kau," (artinya: Zy carilah isteri yang PNS sama seperti saya).
Sontak saja saya mengiyakan, karena memang jodoh kita tidak ada yang tahu. Pak Fauzi mengatakan, sebab terbesar adanya kekerasan dalam rumah tangga itu karena ekonomi, sebab cerai karena ekonomi, sebab selingkuh adalah ekonomi. Lagi-lagi soal uang. Saya pun percaya, karena Pak Fauzi memang sudah berpengalaman.
Kemudian, Pak Wamin, selaku bendahara SMP pun mengatakan hal yang sama. Beliau berpesan dalam bahasa Rejang "pak Ozy, mesoa ba pasangan serei awi udi, ami harus PNS ige, asal si kerjo, asal si lak samo-samo payeak" (artinya: Pak Ozy, carilah pasangan yang sama seperti anda, tidak mesti harus PNS, asal ia mau bekerja, mau sama-sama susah).
Saya pun sedikit merenung, dan mengiyakan dalam hati. Terang saja, Pak Wamin menceritakan kehidupan keluarganya dimana isterinya bukan PNS. Karena kebutuhan keluarga, istrinya pun bekerja dengan membuka usaha jualan makanan. Padahal Pak Wamin sendiri sudah sertifikasi dan magister.