[caption id="" align="aligncenter" width="398" caption="ozzey.org"][/caption] “..We scared the things we did not understand….” Mengerti sebuah perkara adalah kelanjutan dari proses belajar dan mengetahui. Karena menjadi mengerti memerlukan situasi prima untuk menyingkirkan prasangka, asumsi tak berdasar, ataupun tendensi diawal yang jauh dari prinsip obyektif. Dalam pendidikan, mengantarkan pembelajar pada fakta-fakta empiris dan mengajak mereka menalar terhadapnya adalah keharusan. Komponen well educated and well informed yang sedang kita penuhi disini, dengan harapan kita mendapatkan manusia yang memandang sebuah hal secara utuh. Harapan yang mungkin sedang didamba oleh kita yang hidup dalam atmosfer demokrasi. Dimana penghargaan terhadap hak dan kesetaraan menjadi PR besar bagi bangsa yang sedang belajar seperti Indonesia. Peristiwa hangat yang terjadi pada hari Jumat, 7 Februari 2014 di Surabaya, dimana massa yang mengatasnamakan Ormas keagamaan membubarkan diskusi dan bedah buku Tan Malaka yang segera dihelat oleh pihak C20 Library. Dimana massa ormas tersebut menyayangkan pelaksanaan diskusinya yang diluar institusi kampus dan dituding menyebar luaskan paham Marxis dan komunis. Mencoba menjauh dari motif kedua belah pihak, mau itu ormas ataupun pihak yang akan mengadakan bedah buku tersebut, pembubaran seperti itu tidak bisa dibenarkan. Terutama dalam suasana demokrasi, dimana freedom of thought dan freedom of scpeech menjadi kanal yang diminati oleh berbagai komponen didalamnya. Walau banyak yang berang dengan unsur freedom yang disertai kekhawatiran imajinatif dan prediktif yang seharusnya disingkirkan. Kekhawatiran yang didasari oleh ketakutan akan “mimpi buruk” terhadap Komunisme, telah menjadi hal yang berlangsung selama berpuluh-puluh tahun pasca kejatuhan Komunisme pada era sebelumnya. Cerita mengerikan tentang komunis diturunkan dan diteruskan melalui berbagai bentuk, entah itu sosialisasi seperti yang dilakukan pada era Soeharto, dimana pada tanggal 30 September film propaganda tentang kekejaman G30S selalu diputar di stasiun TV nasional. Di level internasional pun,demonisasi komunisme dibungkus atas nama tragedi holocaust yang menjadi versi dunia dalam alasan “menakuti” komunis. Beberapa contoh kecil mengenai pembusukan kultur edukasi diatas, berhasil menjungkir-balikkan rasio dibawah emosi. Seakan proses rasionalisasi dan obyektifikasi dalam pendidikan menjadi hal yang disimpan dalam peti. Seperti penjeblosan seseorang ke penjara tanpa proses pengadilan, menjadi tidak adil saat “pengetahuan” disosialisasikan tanpa menghadirkan berbagai versi mengenainya. Agar siswa bisa memahami persoalan dengan benar, adalah posisi siswa untuk memperkuat struktur demokrasi dengan melakukan refleksi kritis terhadap keyakinan, sikap dan asumsi yang mendasarinya pada masyarakat. Democratic societies require citizens who can make informed judgments about controversial issues(Engle and Ochoa, 1988) Skeptis mengenai sebuah persoalan harus dihadirkan dalam perdebatan di ruang diskusi pendidikan. Menjadikannya sangat sentral karena saat tiap pengetahuan dipermasalahkan dan pertanyakan, dimana mempercayainya begitu saja menjadi virus yang membuat lapuk struktur rasional masyarakat. Bahkan grup musik Manic Stree Preacher’s pernah menegaskan “Inilah kebenaranku, katakan kepadaku kebenaranmu”. Semestinya kehidupan dan masyarakat terdesentralisasi; agar ada peluang yang menyajikan nilai, argumentasi, dan fakta lainnya. Sehingga persepsi tidak dibentuk oleh “keinginan atau kuasa” orang lain, tapi persepsi dibentuk oleh pengetahuan dan penalaran. Menyajikan Kontroversi Pengetahuan mengenai komunisme setelah peristiwa G30S menjadi tidak lengkap sama halnya jika kita berbicara mengenai Holocaust. “….Because students’ knowledge about the Holocaust is incomplete, biased or cursory in a number of societies, teaching the Holocaust represents a democratic imperative that can help to promote tolerance; reduce prejudice, racism and bigotry; and simultaneously foster inclusivity of others, justice-orientations and commitments to peace…” (Salmons, 2003) Karena pengetahuan siswa tentang Holocaust tidak lengkap, bias atau sepintas di sejumlah masyarakat, mengajarkan Holocaust merupakan keutamaan yang demokratis yang dapat membantu untuk mempromosikan toleransi, mengurangi prasangka, rasisme dan kefanatikan, dan sekaligus inklusivitas bagi orang lain, keadilan-orientasi dan komitmen terhadap perdamaian. Begitu pula jika konteks kita dalam membahas komunisme, sejarah harus disajikan dari berbagai versi. Hal ini sedikit banyak memberi tahu anak, bahwa selalu ada dua sisi yang bermain. Selain itu, agar stigma “History is written by victor” bisa menjauh seketika fakta yang sebenarnya tidak berbicara demikian. Dalam pendidikan sejarah, terkandung bahan untuk refleksi dan pertimbangan dalam mengadu klaim moral dan normatif mengenai harus seperti apa individu dan masyarakat. Menurut John Dewey, History helps students understand the relationship of past and the present. Sederhananya mendiskusikan kontroversi dalam ruang pendidikan, adalah penting dalam demokrasi. Keharmonisan yang didamba oleh sebuah negara, sulit akan tercipta jika unsur terpenting didalamnya, yaitu masyarakat masih miskin akan edukasi. Edukasi bukan sebagai media doktrin untuk membentuk atau mencipta suatu corak khusus dalam pemikiran setiap warganya. Tapi edukasi adalah membimbing pribadi untuk menyelami cara berpikir. Pemecahan masalah bisa menjadi produk yang baik jika cara berpikir untuk memecahkannya baik. Tentu kita berharap memiliki para agen perubahan yang selalu berlomba menghadirkan solusi dan inovasi untuk perbaikan bangsa, bukan menciptakan sekumpulan pengumpat yang tetap diam dalam kegelapan. Keutuhan dalam menyajikan kebenaran dalam proses pendidikan menjadi sebuah urgensi. Walau Nietzsche mendefinisikan kebenaran menjadi “Suatu rangkaian kekuatan yang terdiri atas metafor, metonim, antropomorfisme, singkatnya himpunan relasi manusiawi yang disanjung-sanjung secara puitis dan retoris, dan diubah serta diolah, dan yang sesudah digunakan lama secara popular, bersifat mewajibkan secara tetap dan secara hukum. Kebenaran adalah ilusi, yang keilusiannya tidak tampak.” Bagaimanapun sifat asli kebenaran, sakit ataupun nikmat, menghadirkan kedua sisi ataupun sisi lainnya menjadi kebutuhan dewasa ini. Daftar Pustaka Andriansyah, Moch. (2014). FPI batalkan diskusi Tan Malaka: Apa maunya orang-orang PKI ini?. [Online]. Tersedia di http://www.merdeka.com/peristiwa/fpi-batalkan-diskusi-tan-malaka-apa-maunya-orang-orang-pki-ini.html [Diakses 8 Februari 2014] Engle SH and Ochoa AS (1988) Education for Democratic Citizenship: Decision Making in the Social Studies. New York: Teachers College Press. Misco, Thomas. (2011) ‘Most learn almost nothing’: building democratic citizenship by engaging controversial history through inquiry in post-communist Europe’. Sage Publication. Education, Citizenship, and Social Justice. [Online]. Tersedia di http://esj.sagepub.com/content/6/1/87.refs.html [Diakses 8 Februari 2014] O’Donnel, Kevin (2009). Postmodernisme. Kanisius: Yogyakarta. Diterjemahkan dari buku Kevin O’Donnel, Postmodernime, Lion Publishing, Oxford, 2003, oleh Jan Riberu Salmons P (2003) Teaching or preaching? The Holocaust and intercultural education in the UK. Intercultural Education 14(2) Fauzi Abdillah twitter : @ozzeyabdilla Ditulis juga di Ozzey.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H