Mohon tunggu...
Fauzi Abdillah
Fauzi Abdillah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@ozzeyabdilla admin :D

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Para Pengemban Moral

28 Februari 2014   04:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Source : campaignbrief.com

Siapa Saja Pengemban Moral ?

[caption id="" align="aligncenter" width="350" caption="Image Source : campaignbrief.com"][/caption]

Dalam pendidikan, istilah moral seperti sudah menjadi hidangan wajib. Bisa itu untuk dipegang ataupun dijewantahkan pada tingkah lampah sehari-hari. Moral dan etika digambarkan menjadi barang mewah dan antik dewasa ini. Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai media sosial, portal berita, yang berisi opini-opini dan kritik terhadap keadaan dalam berbagai dimensi di masyarakat. Mulai dari berbagai kasus yang mendera ruangan sosial kemanusiaan, hampir mengatakan hal yang senada, yaitu mulai dihilangkannya moral dan etika oleh para generasi muda. Banyak beban yang dipikul oleh generasi sekarang, yang secara teknis merupakan beban yang diberikan oleh kaum “tua” untuk kaum muda, yang terwujud dalam ekspektasi harus seperti apa manusia-manusia idaman itu.

‘Superioritas jaman’ saya menyebutnya, kondisi dimana setiap generasi menganggap bahwa masanya lah yang paling baik, sehingga masa sebelum dan sesudahnya tidak lebih baik dari masanya. Bisa kita lihat dari opini-opini yang menghinggapi berbagai generasi. Kalimat yang terlontar biasanya bernada “jaman saya dahulu, setelah isya itu kita tidur, jadi tidak ada waktu untuk melakukan kegiatan sia-sia seperti bermain terus dengan HP”, “jaman saya dulu anak-anak mempunyai hiburannya tersendiri, nyanyian dari anak kecil yang isinya tentang dunia anak, jaman sekarang anak-anak sudah nyanyi yang cinta-cintaan”. Dan masih banyak kalimat untuk mencontohkan superioritas tersebut.

Padahal jika kita lihat secara seksama, justru dalam filsafat sering memberi apologi dengan istilah “anak zamannya”, untuk setidaknya melakukan pembelaan atas hal yang dikira tidak sesuai jamannya. Tapi pembelaan tersebut bukan untuk pembenaran, tapi  agar kita bertindak lebih obyektif. Karena sepertinya sia-sia saja, jikalau dari hal tersebut  tidak ada tindakan refleksi dibaliknya. Saya sendiri memandang, selalu saja ada deviasi di setiap jamannya, tapi bukan berarti pula kita berhak memberikan stereotype dan terus beronani dengan superioritas tersebut. Bukan hanya berdampak tunggal, tapi superioritas tersebut seakan menjadi berhala baru yang menambah beban generasi selanjutnya.

Beberapa hari lalu teman saya mengkomentari acara infotainment yang menampilkan opini dari selebritis dalam negeri atas fenomena-fenomena yang tengah ramai diperbincangkan oleh khalayak. Dalam statusnya tersebut teman saya  menyebutkan bahwa selebritis yang berkomentar mengenai seorang ustadz itu harus mencontohkan perilaku baik untuk masyarakat, bukannya malah bersikap seenaknya terhadap orang lain. Statemen selebritis ini berkaitan dengan kasus ditekannya kepala seseorang oleh salah seorang “ustadz seleb”. Lantas teman saya tersebut mengkomentarinya dengan maksud bahwa seharusnya selebritis tersebut jangan terus menyalahkan ustadz dan ia harus ikut serta pula memberi contoh perilaku yang baik untuk masyarakat umum.

Seketika setelah itu, saya merasa ada yang janggal dengan respon yang diberikan teman saya tersebut. Banyak pertanyaan yang hinggap di ubun-ubun kepala saya untuk segera digelontorkan dan ikut berstatemen dalam statusnya, tapi niat tersebut saya urungkan, mungkin karena saya merasa kurang nyaman  jika harus berdiskusi di media sosial seperti itu. Jadi saya berniat untuk menanggapinya dimedia lain. Dan mungkin ini salah satu bentuknya. Atas statemennya tersebut, pertanyaan terbesar dalam pikiran saya adalah “Siapa saja yang memiliki beban moral tersebut?”. Apa mungkin setiap orang yang terkenal? Apa setiap individu juga memilikinya?”.

Saya mengajak pembaca untuk kembali lagi melihat dari hakikat dari moral yang nada utamanya adalah membicarakan baik dan buruk. Menurut Rokeach, dalam penentuan baik dan buruk, terdapat nilai atau value yang didefinisikan sebagai alasan dasar bahwa “cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Dari definisi ini kita bisa melihat bahwa memang pada dasarnya, setiap mahluk yang bermasyarakat bisa memiliki beban moral tersebut.

Secara khusus saya memiliki pendapat bahwa beban moral terdapat pada seseorang yang membicarakan moral. Siapapun itu, mulai dari anak kecil sampai orang tua. Seseorang yang menasihati orang lain untuk tidak ingkar, memiliki beban lebih banyak untuk tidak ingkar daripada yang dinasihati. Seorang guru yang membicarakan kedisiplinan, terbebani lebih banyak daripada orang lain atas kedisiplinan yang dirinya kemukakan. Dan masih banyak contoh lain yang kira-kira hampir sama.

Sekarang kita kaitkan dengan statemen teman saya diatas. Sungguh kurang bijak jika menyamaratakan standar untuk seorang ustadz dan artis. Mungkin saja keduanya adalah selebritis (yang banyak dikenal oleh masyarakat). Akan tetapi disini terdapat beban yang berbeda. Setiap profesi memiliki bebannya masing-masing. Seorang ustadz yang “menjual” kata-kata berisi nasihat dan himbauan yang berkaitan dengan moral, memiliki beban untuk bertanggung jawab atas “karya”nya tersebut. Sedangkan seorang artis, kita ambil contoh musisi, beban yang diberikan terhadapnya adalah aransemen yang ciamik, lirik yang dalam, dan beberapa komponen untuk bermusik sampai aksi panggung lah yang pantas dibebankan terhadapnya. Menghibur adalah tugas utamanya, berikanlah kritik yang membangun atas karya-karya seseorang, bukan hal lain yang tidak “dijualnya”. Begitu pula, jika ada beban lain untuk seorang ustadz harus fashionable, memiliki suara bagus, ataupun bisa melucu. Saya rasa beban-beban seperti itu hanya sebagai penambah dan tidak wajib yang bersifat bonus. Seperti seorang musisi yang mempunyai kehidupan rumah tangga yang harmonis, sehingga hal tersebut bisa menjadi contoh bagi yang lain. Itu adalah bonus!.

Cobalah bertindak adil, tentu seorang koki akan bertanggung jawab terhadap rasa masakannya, bukan pada keamanan sebuah restoran. Kritik lah karya, bukan pribadinya. Apalagi terhadap hal yang memang bukan bidangnya. Untuk itulah kata “Profesional” hadir, setiap orang berkarya sesuai bidangnya secara komprehensif dan maksimal. Jika manusia dicitrakan harus segala bisa, menjadi beban baru yang konyol untuk mahluk maha tidak sempurna ini. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri, bahwa ada hal mendasar yang harus setiap orang punyai. Tapi hal tersebut tidak menjadikan kita kehilangan titik fokus untuk bisa memilah mana yang akan kita sorot.

Mengenai masyarakat yang katanya mengikuti perbuatan tidak sesuai moral, bahkan bertentangan dengan moral dari para selebritis. Lagi-lagi sering di opinikan bahwa hal tersebut membebani dan dimiliki oleh orang yang di ekspektasikan untuk menjadi contoh, walau memang tidak tepat. Kini kita bertanya, mana yang salah, masyarakat yang mengikuti perbuatan salah tersebut? atau orang terkenal yang melakukan perbuatan salah itu? Tentu mayoritas orang akan menjawab, yang memberi contoh. Menurut saya pribadi, kalimat sebelumnya mengandung makna bahwa masyarakat kita itu bodoh, sehingga terus saja membebek tanpa dipikirkan dahulu atas  perilaku orang lain yang akan diikuti. Belum lagi terkesan hiperbola, orang terkenal yang melakukan perbuatan tidak sesuai moral dikatakan sedang memberi contoh. Jika tidak ada tindakan persuasif dari orang terkenal tersebut, apa bisa dikatakan sedang memberi contoh?.

Boleh jadi klaim-klaim tersebut hanya mencirikan tipikal manusia yang egois dan lepas tanggung jawab. Mereka yang melakukan kesalahan, tapi orang lain yang disalahkan terhadapnya. Sakit!

Anda yang mabuk-mabukan dan berbuat kriminal, dan yang disalahkan selebritis karena dalam filmnya dia mabuk-mabukan pula? Dude.... -__-‘

Akal sehat kadang hilang jika perilaku egoistik mendominasi di dalamnya. Bisa jadi tipikal seperti ini yang banyak di Indonesia. Mungkin kurangnya “bercermin”, atau autokritik terhadap diri sendiri menjadi salah satu faktor penyebabnya. Semua bisa saja. Tapi setidaknya kita yang harus memulai, memperbaiki, jangan tergantung dengan orang lain, anda adalah manusia cerdas yang hadir didunia ini sebagai pribadi otonom. Bukan mesin yang bertindak berdasarkan perintah orang lain. Tapi perlu mengerti pula, bahwa bisa jadi hal seperti ini akan terus berlangsung selama beberapa generasi kedepan, jika saja perilaku refleksi dan autokritik tetap miskin di tengah komunitas masyarakat kita. Sampai kapan? Entah.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun