Mohon tunggu...
Hasbullah
Hasbullah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Program S3 MSDM UNJ Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Orang Indonesia! Come on, Jujurlah Tentang Capres…

6 Mei 2014   15:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:48 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita mungkin tidak setuju apa yang disampaikan Muchtar Lubis di tahun 80-an tentang watak orang Indonesia yang pada umumnya tidak jujur, enggan bertanggung jawab, berwatak lemah dalam pendirian, feodal, artistik, boros, cemburu (iri), penggerutu, sok tahu dan terakhir suka ikut-ikutan. Tahun 90-an Budayawan NU Mahbub Djunaidi paling tidak mengiyakannya di pojok KOMPAS. Tentu saja banyak orang mengerutkan dahi dan  tidak setuju, termasuk Pak Harto waktu itu dan akhirnya Pak Muchtar Lubis kena cekal.

Tetapi makin lama, ketika kita lebih bebas berbicara dan berekspresi saat ini makin kelihatan watak-watak aslinya. Bahkan secara tidak sadar, kita memiliki (walaupun tidak semuanya atau mungkin semuanya) beberapa ciri-ciri negatif  yang dikatakan Muchtar Lubis di atas. Apa iya..?. Coba kita lihat kecenderungan orang-orang pada tahun politik ini atau tahun pemilhan presiden. Kita kadang jadi tidak jujur menilai capres, kurang bertanggung jawab dalam memilih karena mengesampingkan pertimbangkan objektif  atau bahkan golput, pendirian kita lemah atau makin fanatik mendukung karena dibombardir media tentang kekuatan dan kelemaham masing-masing capres, kita tidak suka ketika capres yang kita benci unggul.

Favoritisme sering menghalangi kejujuran kita. Misalkan Menyukai seorang capres menutupi dan mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dipertimbangkan, terlepas pertanyaan itu hanya isu miring atau fakta. Ketika favoritisme kita mendukung capres A, maka yang muncul di benak kita adalah  capres A  suci, sederhana, jujur,sederhana, merakyat, pekerja keras, pintar,dan sangat sempurna jadi presiden. Sedangkan calon B menjadi kontra-favoritisme, maka yang muncul di benak kita adalah capres B kotor,  punya uang trilyunan tidak jelas asalnya, suka hidup mewah, otoriter, suka culik orang, misterius, tidak jelas, punya sejarah kelam dan sangat tidak sempurna jadi presiden. Yang sering muncul dibenak kita ditambah bom bardir media sosial, tv, diskusi yang menyerang dan mendewa-dewakan capres masing-masing capres secara berlebihan, melupakan pesan dan misi mulia  sesungguhnya yang di bawa capres.

Ketika favoritisme kita mendukung capres B, maka yang muncul di benak kita adalah  capres B tegas, karismatik, berpendirian kuat, pintar, tampan, jujur, merakyat, pekerja keras dan sangat sempurna jadi presiden. Sedangkan calon A menjadi kontra-favoritisme, maka yang muncul di benak kita adalah capres A plin-plan, tidak intelek, kurang good looking, dibuat-buat, jadi boneka orang, pemimpin kurang berhasil, pemimpin polesan media, kapasitas kepmimpinan belum matang dan sangat tidak sempurna jadi presiden. Yang sering muncul dibenak kita ditambah bom bardir media sosial, tv, diskusi yang menyerang dan mendewa-dewakan capres masing-masing capres secara berlebihan, melupakan pesan dan misi mulia  sesungguhnya yang di bawa capres.

Untuk memaksa kita jujur dan fair, ada baiknya membuat “checklist” pribadi yang memuat pertanyaan yang sama terhadap capres untuk meminimalkan favoritisme yang membutakan, atau paling tidak  kita “tabayyun” dulu tentang pertanyaan-pertanyaan yang menyelimuti capres A dan capres B. Betulkah capres A memilki prestasi monumental di dua kota yang pernah dipimpinya atau memang sekedar “bagus” saja untuk ruang lingkup pemimpin mikro setingkat kota, tetapi belum tentu untuk bangsa  besar. Betulkah kapasitas kepemimpinan capres A sudah teruji dengan latar belakang, intelektualias,  wawasan makro, pergaulan politik, ruang lingkup elemen yang dipimpin serta jenjang pendidikan dan pelatihan kepemmpinan formal yang pernah diikutinya pantas untuk sebuah bangsa yang besar. Betulkah capres A pernah tidak adil dalam menghibahkan dana walikotanya lebih besar hanya kepada lembaga-lembaga tertentu.  Bagaimana dengan independensi kepemimpinannya jika  jadi presiden atau tidaknya capres A dikarenakan jasa budi  keputusan seorang king maker.   Maukah kita mengambil resiko ini?.

Sedangkan untuk capres B, bagaimana mungkin punya uang trilyunan dalam kurun waktu berbisinis selepas pensiun.  Betulkah memilki sejarah kekerasan dalam peristiwa politik kelam masa lalunya, Apakah benar  memiliki kepemimpinan yang baik sedangkan dalam kepemimpinan mikro atau keluarga pun kurang berhasil…..Bagaimana isu miring dengan  karakter tempramen dan mudah meledaknya..? .

Tidak ada pemimpin yang sempurna, bukan memilih yang paling baik, paling bersih,  paling mirip dengan kita, tetapi yang paling banyak membawa implikasi baik. Orang boleh tidak baik masa lalunya dan boleh kurang kompeten tetapi yang penting paling banyak manfaatnya buat masyarakat nanti. Jangan menutup kemungkinan-kemungkinan ada orang lain yang lebih baik, jangan pula menutup ada kelebihan-kelebihan dan niat baik pada capres yang ada. Hidup Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun