Mohon tunggu...
Siti Robi'ah
Siti Robi'ah Mohon Tunggu... -

seorang makhluk Tuhan yang terus dan terus belajar bersyukur karena Melihat jauh ke atas, tak akan membuat kita puas dengan kehidupan. Sifat dasar manusia adalah ketidakpuasan dan tamak. Lalu, untuk apa menuruti sifat yang hanya dilandaskan pada nafsu, jika bersyukur adalah utama?"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karma

31 Agustus 2013   13:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:34 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa, suara mesin 1sinso terdengar menderu-deru dari hutan seberang desa. Tak ada yang tahu pasti kapan akan berakhir kebisingan seperti ini. Mungkin menunggu si manusia berduit itu semakin tambun, atau menunggu dia mati tertimpa pohon yang mereka tumbangkan.

Sejak dua bulan yang lalu si hutan di gunduli oleh si manusia berduit.Entah untuk apa lahan itu dibuka. Kabarnya akan dibangun rumah-rumah elit, ada juga kabar kalo akan dibangun villa. Entah mana yang benar, tak ada yang tahu pasti, penduduk desa seperti kami tak banyak tahu urusan para petinggi-petinggi desa. Bukan! Bukan kami tak mau tahu, tapi mungkin karena nyali kami yang terlalu ciut untuk mencari tahu. Kabarnya pernah beberapa kali bapak dan beberapa pemuda mencari tahu kebenaran dan alasan hutan itu digunduli kepada pak lurah, pak camat bahkan ke bupati sekalipun. Tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya bapak dan beberapa pemuda itu menyerah. Karena si Narko ketua pemuda desa ditemukan tak bernyawa di dalam hutan. Pak lurah dan polisi bilang Narko ditemukan gantung diri. Tapi kami tidak percaya.

“2ndak muleh Min!” suara mas Tarjo dan istrinya mengejutkanku.

“3njih mas,mbak, silahkan duluan saja, masih pengen disini bisa liat-liat desa dari atas bukit!” jawabku dengan bahasa yang sedikit semrawut. Terlalu lama di daerah perantauan, membuat bahasa daerahku terlupakan. Aku ingat betul kata-kata teman seperantauanku yang mengejekku katrok alias kampungan karena logat bicaraku yang amat kental dengan bahasa daerah. Hal itu yang membuatku sedikit demi sedikit menggunakan bahasa nasional agar terlihat sedikit gaul gituh. Barusatu minggu aku kembali ke desa ini, itupun karena bapak yang memaksa. “pulang nak, bapak sudah tua sendirian , emakmu juga sudah ndak ada”pinta bapak kala itu.

“4mendunge wes peteng lho Min, selak udan mengko. Aku tak balek sek yo, kopi ne tak gowo sisan, gek ndang balek yo ojo suwe-suwe neng kene”, sambung mas Tarjo lagi yang hanya ku balas dengan anggukan dan segaris senyum. Dengan sigap ia dan istrinya menuruni bukit dengan tak lupa membawa hasil panen kami.

Suara bising masih saja terdengar dari dalam hutan. Apa tak tahu akan turun hujan orang-orang itu, gumamku lirih. Langit semakin pekat, sepertinya akan turun hujan lebat kali ini. Benar saja dalam hitungan menit hujan lebat mulai mengguyur, tergesa-gesa aku segera masuk ke gubuk kecil yang memang sengaja bapak buat. Dua jam, lima jam, hujan tak kunjung reda. Tubuhku mulai menggigil. Dingin juga rupanya disini, dalam hati mulai merutuk. “tadi kenapa g pulang bareng mas Tarjo, pasti sekarang lagi duduk manis dirumah sambil minum wedang jahe kesukaanku”gumamku lirih sambil meratapi nasib. Kuarahkan pandanganku ke desa bawah bukit, desa tempatku tinggal.

Jarum jam tanganku menunjukkan pukul 17.00 WIB, tak berapa lama terdengar suara gemuruh. “suara apa itu”, kupaksakan untuk keluar dari gubuk meskipun hujan masih begitu lebat. Tak berapa lama terdengar teriakan-teriakan dari arah desa dan hutan. “Woooii banjiiiiiir, banjiiiir!” entah teriakan siapa yang ku dengar. “Awas longsoooor!” kembali terdengar suara bertieriak seperti sedang member peringatan. “Bapak!” pikiranku langsung tertuju pada lelaki berumur 70 tahun itu, iya bapakku satu-satunya keluarga yang kumiliki. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuruni bukit. Tak kuhiraukan dahan dan ranting kopi yang bertubi-tubi menampar wajahku. Bahkan tak sedikit ranting-ranting kecil merobek lenganku.

Aku terus berlari, kala itu yang kupikirkan hanya bapak. Belum ada setengah perjalananku, tiba-tiba tanah yang ku pijak seolah bergerak, tubuhku limbung dan akhirnya aku terseret tanah yang longosor. Dengan susah payah ku gapai akar dan pohon yang ada disekitarku agar aku tak terus terbawa longsoran tanah dan jatuh ke bawah bukit. Akhirnya tanganku dapat meraih satu pohon kopi yang masih berdiri tegak. Kupeluk erat pohon itu. Kulihat desaku kini menjelma seperti lautan. Air mataku bercucuran, aku menangis karena sedih, takut dan menahan sakit diseluruh tubuhku. Kuberanikan diri untuk berdiri, belum lagi tubuhku berdiri tegak, tanah yang kupijak kembali bergerak, kali ini lebih cepat sehingga tak memberi kesempatan padaku untuk mencari pegangan. Kurasakan ada benda keras yang menghantam kepalaku. Kepalaku sakit dan akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi.

Lamat-lamat kudengar seseorang memanggil namaku, sepertinya aku kenal suara itu. “amina, amina anakku”, ternyata suara bapak. Perlahan kubuka mataku yang seolah terkena getah nangka. Sulit sekali kubuka. “Bapak”, aku menangis tergugu ketika melihat wajah bapak dengan senyum manisnya, ia rentangkan tangannya. Dipeluknya erat tubuhku. “Maaf pak, luka nona Amina Nausheen agak parah, mohon untuk tidak dipeluk seperti itu” seorang suster mengingatkan. Bapak terkekeh seraya melepaskan pelukkannya, dielusnya rambut ikalku.

“Desa kita bagaimana pak, tetangga kita?” tanyaku seraya mengedarkan pandangan keseliling kamar. “Tenang saja, penduduk desa semua selamat. Tapi pak lurah dan pejabat kelurahan nya masih belum ditemukan, begitu juga dengan orang-orang yang didalam hutan termasuk dengan pak Kijo dan keluarganya yang saat itu sedang melihat anak buahnya menebang pohon di hutan, mudah-mudahan saja mereka semua selamat”, cerita bapak sambil tersenyum. “Mudah-mudahan saja iya pak”, ujarku seraya terus mengucap syukur pada Tuhan karena telah mengizinkanku menghirup nikmatnya udara ditanah kelahiranku. Semoga ini bukan karma atau hukuman untuk mereka atapun kami yang tak mampu menjaga anugerahNya. Itu doaku dalam hati.

Note:

1 Mesin untuk menebang pohon

2 Tidak pulang

3 Iya Mas/mbak

4 Mendungnya sudah gelap, keburu turun hujan nanti. Aku pulang duluan iya, kopi nya sekalian aku bawa, cepat pulang jangan lama-lama disini.

----* selamat membaca teman-teman, mudah-mudahan tidak membuat sakit mata *-----

----* maklum penulis amatir *----

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun