Mohon tunggu...
Siti Robi'ah
Siti Robi'ah Mohon Tunggu... -

seorang makhluk Tuhan yang terus dan terus belajar bersyukur karena Melihat jauh ke atas, tak akan membuat kita puas dengan kehidupan. Sifat dasar manusia adalah ketidakpuasan dan tamak. Lalu, untuk apa menuruti sifat yang hanya dilandaskan pada nafsu, jika bersyukur adalah utama?"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Kaki di Pagi Hari

28 Agustus 2013   16:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:41 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senggigi, 22 Oktober 2010 Pukul 02.00 WIB

Sudah pukul dua dini hari, tapi mataku tak juga bisa terpejam. Kuputuskan untuk mencari udara segar di luar. Ya, pantai senggigi menjadi tujuanku. Segera saja kusambar jaket yang sengaja kugeletakan di atas sofa. Satu dua tiga, sekarang aku sudah sampai di lobi hotel. Segera kuayunkan kakiku menuju pantai.

Brrrrr…. Udara luar terasa begitu dingin menusuk tulang, namun tak menyurutkan niatku untuk mengunjungi pantai Senggigi yang tak jauh dari hotel tempatku menginap. Perlahan tapi pasti kuayunkan kedua kaki jenjangku. Sesekali aku menguap. Ngantuk. Sebenarnya mata ini mengajakku tetap berbaring dan berlayar ke lautan mimpi. Tapi apa boleh buat, pikiranku seolah tak inginkan itu hingga memaksaku untuk berjalan-jalan sepagi ini. Setibanya disana tercium aroma pasir yang mengisyaratkan bahwa aku telah sampai ditempat tujuanku.

“Byuuuuuurrrr” bunyi ombak menghantam karang yang berdiri tegak di tepi pantai Senggigi menyambut kehadiranku. Udara dingin kembali menyergap tubuh mungilku. Fiuuh.. aku mendesah kasar. Berharap beban yang selama ini memadati memoriku ikut terkikis. Entah apa yang saat ini sedang mengusik ketenanganku. Mungkin mimpi yang berulang – ulang mampir setiap kali aku berusaha memejamkan mata.Banyangan mas Dhito, suamiku yang telah almarhum kembali mengusikku. Radhito Azka Putra tepatnya.Kubenahi letak dasterku yang menari-nari riang terkena sibakan angin yang nakal. mata dan tanganku beralih keperutku yang kian membuncit. Aku merasakan ada gerakan kecil menyambut tanganku, itu pasti gerakan kaki si mungil yang kini masih meringkuk di dirahimku. Tiba-tiba buliran-buliran bening menyeruak keluar, mas Dhito, seandainya saja dia masih ada pasti dia akan tertawa melihat aksi ini. Otakku kembali memutar kejadian 4 bulan yang lalu. Saat tiba-tiba sebuah minibus yang yang tak tahu diri menyeruduk motor mas Dhito yang saat itu tengah parkir di pinggir jalan selepas mengantarku ke kantor.

“Mas langsung ke kantor ya sayang”, aku mengangguk perlahan seraya mencium tangan kanannya.

“Hati-hati di jalan ya, nanti jemputnya jangan telat lagi”, bibirku mengerucut. Mas Dhito tersenyum hingga menyembulkan gigi putihnya yang rapi.

Baru saja aku membalikkan badan tiba-tiba “Braaaaak” seperti ada hantaman benda keras di belakangku, tanpa dikomando aku membalikkan badan kudapati tubuh mas Dhito tersungkur di aspal dengan bersimbah darah. “mas Dhito”, aku menghambur memeluk mas Dhito yang tengah bersusah payah mengulurkan tangan untuk mengelus pipiku. Tak sampai hitungan detik disekeliling kami telah dipadati orang. Tak lama mobil ambulance mendatangi kami, namun terlambat. Mas Dhito telah pergi. Aku menangis histeris kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Sayup-sayup terdengar suara yang begitu ramai, kutajamkan pendengaranku, seperti orang sedang membaca surat yasin, perlahan kubuka mataku. Belum sepenuhnya mataku terbuka ibuku memelukku, “syukurlah, kamu sudahsiuman nak”, aku menatap disekelilingku. Ramai. “Mas Dhito mana bu?” tanyaku. Sontak ibuku kembali memelukku seraya menangis tergugu.

Lampung, 22 Oktober 2007

“Aul!” terdengar suara cempreng Nou memanggil dari balik pintu kamar. Dengan malas aku membukakan pintu. “Bruuk!” Nou menabrak pintu yang baru aku buka. “sakit tau”, sambil bersungut – sungut aku mengikuti langkah Nou ke arah ranjang yang ada di kamarku. Sambil nyengir – nyengir kuda Nou mengambil posisi.

“loe kenapa sih non? Dari tadi manyun mulu”. Tanya Nou seraya melahap biscuit yang sedari tadi duduk manis di atas meja. “terus Dhito kemana? Tumben g kesini dia.” Ujarnya lagi tanpa melihat ke arahku.

“Tiba – tiba aku kepikiran Dhanu”, gumamku tak menghiraukan pertanyaan Nou. “Salah g sih aku kayak gini”, ujarku lagi.

“menurut gue sih lupain aja Dhanu, putusin aja, toh sampe gini hari g muncul-muncul juga, udah setaon gitu. Loe g salah, salah dia g muncul-muncul. Lagi pula dia ingkar janji kan? Katanya awal taon ini dia bakalan dateng, tapi mana, ini udah mau ganti taon lagi, lagi pula nih ya, loe kenal dia dari dunia maya gitu, pacaran lewat dunia maya, yang nyata aja banyak kenapa sama yang maya sih”.Seperti biasa Nou nyerocos bak mercon harga seribuan.

Pandanganku menerawang dan akhirnya kuputuskan untuk menelpon Dhanu.

hello! is that you honey?” terdengar suara manis seorang lelaki di seberang sana, yang tak lain adalah Dhanu Astana.

yes it's me” jawabku datar. “Dhanu, I want to talk seriously with you”, kataku lagi.

what is it?” jawab Dhanu dengan nada sedikit menggoda.

I want us to break up”, ujarku perlahan.

why? What I’ve done? Suara Dhanu tiba – tiba melengking.

no, not you, but I was,” jawabku terbata.

I promise, I'll see you early next year. I know it's too long. but I promise”, ungkap Dhanu berusaha meyakinkanku.

I fellin lovewithsomeone else”, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. Suasana menjadi senyap, Dhanu tak lagi bersuara, hanya sesekali terdengar dia menghela nafas.

maaf, aku benar-benar minta maaf. Tapi aku tidak bisa terus – menerus menjalani hubungan seperti ini, aku juga ingin seperti orang lain, selama ini aku berusaha untuk terus menunggumu”, aku melanjutkan pembicaraan. “hopefully you get someone better, maafkan aku Dhanu, Bye”. “Klik”. Aku menutup telepon.

Sedikit perasaan lega menyergap hatiku. Setidaknya aku tidak lagi menduakan Dhanu. Aku memang bodoh, mengapa tak dari dulu kuambil keputusan ini. Namun dilain sisi ada rasa bersalah yang menyerang hatiku. “maafkan aku Dhanu”, gumamku lirih. Pluuk. Nou menepuk bahuku. “Keputusan yang loe ambil udah benar Iqlima Aulina bodoh, lebih cepat lebih baik. karena semakin lama loe ambil keputusan semakin lama juga loe nyakitin perasaan mereka berdua, terutama Dhanu, pacar dunia maya loe itu. Udah g usah di pikirin”, ujar Nou berusaha menenangkanku. Aku tersenyum kecut.

Senggigi, 22 Oktober 2010 Pukul 04.00 WIB

Sesekali aku membetulkan jaket yang kukenakan, sepertinya udara di sini semakin membuatku menggigil saja. Kuselonjorkan kaki di atas pasirpantai. Lelah, setelah hampir dua jam aku berjalan mondar-mandir tak bertujuan. Kuseka air mataku yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Ya, kenanganku bersama mas Dhito selalu mengundang air mataku untuk berhamburan keluar. Ada banyak hal yang belum sempat kusampaikan, termasuk soal kehamilanku. Kehadiran calon anak pertama kami. “Kasihan sekali kamu nak” kembali aku mengelus perlahan perutku, berharap raga mungil yang masih dengan setia berbaring di dalam sana merasakan elusan tanganku. “Nanti saat kita punya peri kecil, aku ingin beri dia nama Iqlima Azkiya Shaulanessa”, ucap mas Dhito. “kalo cowok, mas Dhito mau kasih nama siapa?” tanyaku manja. “kalo laki-laki, mas mau beri nama Keandra Azka Rafasya Yura” jawabnya sambil tersenyum manis. Aku mengangguk setuju. Kembali bulir-bulir bening menyeruak keluar tanpa kuminta. Aku kembali teringat ucapan mas Dhito setahun lalu saat kami mengunjungi pantai ini. Benar setahun lalu, Setahun lau senggigi kurasa begitu indah, tapi sekarang tidak lagi. Senggigi tak seindah dulu. Aku tersenyum getir.

Lamat-lamat terdengar suara langkah kaki di belakangku. Belum sempat aku memastikan siapa yang datang, sesosok pria tinggi pemilik langkah itu memanggil namaku. “Aul”. Ucapnya perlahan namun masih terdengar. Aku mendongak. Kusipitkan mataku untuk memastikan siapakah orang yang berdiri di hadapanku saat ini. Ku kerjap-kerjapkan mataku, seolah tak percaya dengan penglihatanku, sepertinya minus mataku kian bertambah. Tapi sepertinya aku tak salah lihat.

“Dhanu”, aku hampir tak percaya melihat sosok Dhanu yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku. Dia tersenyum sumringah, mungkin karena aku masih mengenalinya atau entahlah, aku tak begitu peduli. “Yes, it’s me, I come to keep my promise. I'll see you even if only now I'm coming, lanjutnya. “Aku tahu apa yang terjadi padamu, karena itulah aku datang, maaf baru sekarang”, sambung nya lagi. “Jangan berlama-lama di sini, angin malam tak baik untuk kesehatanmu dan si kecil, mari kuantar kamu kembali ke hotel”, tanpa ba-bi-bu dia memapahku pulang. Aku melongo. Bingung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun