Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya "Text Mining: Persepsi Media Online terhadap Panelis Pilkada DKI" di mana tulisan sebelumnya, menganalisis hasil Googling dengan keyword: Agus dan Sylvi, Ahok, dan Anies.Â
Maka di sini yang dianalisis adalah hasil search twitter selama dua hari dengan keyword yang sama. Jujur, ternyata twitter jauh lebih sulit daripada menganalisis media online, karena terutama twitter sering kali menggunakan bahasa singkatan seperti SMS, banyak menggunakan hastag, sering direfer pada URL lain yang dipendekan, sehingga sangat sulit untuk mencari akar kata dari apa yang ditwit.Â
Akar kata di sini, misalnya, mencoblos maka akar katanya adalah coblos. Sedangkan di twitter, para netizen dapat seenaknya menggunakan kata misalnya mencobls, cbls, sdh, yg, dll banyak dan ini memusingkan program python yang dibuat, saya harus mencoba secara agak manual memilah-milah.
Dengan banyak sekali keterbatasan yang ada berikut adalah hasilnya.
Beda utama antara twitter dan media online terutama adalah, twitter lebih merepresentasikan apa yang terjadi di masyarakat sambil dimanipulasi oleh bot yang dioperasikan oleh para kandidat. Maklum ada kandidat yang banyak menjalankan bot sehingga agak mengubah hasil perhitungannya. Sementara di media online, merupakan berita yang lebih terkontrol yang ditulis oleh para jurnalis di bawah pengawasan redaksinya.
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H