Swasembada beras sebenarnya bisa diwujudkan di Indonesia. Faktor pendukung utama negara berada di iklim tropis dengan curah hujan dan sumber air sepanjang tahun menjadi keunggulan sebagai negara pencetak sawah terbesar di dunia.Â
Seiring perkembangan zaman, swasembada beras yang belum sempat terwujud, sebenarnya telah puluhan tahun terusik. Pertumbuhan manusia dan investasi telah banyak menggoda lahan persawahan tergerus menjadi kawasan pemukiman.Â
Bisnis real estate telah menelan ribuan hektar sawah produktif. Bukan hanya di area ibu kota provinsi saja. Pengusaha perumahan pun telah merambah area kabupaten.Â
Contoh konkritnya di Kabupaten Tana Toraja. Pengusaha lokal memanfaatkan areal persawahan sebagai lokasi pembangunan perumahan.Â
Secara bertahap beberapa petak sawah tradisional pun menjelma menjadi kompleks perumahan. Bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, sisa sawah yang ada akan tergantikan oleh bangunan.
Puluhan tahun sebelumnya, pengembang perumahan di Tana Toraja memanfaatkan areal perbukitan yang merupakan lahan tidur. Tanah kosong yang biasanya menjadi tempat pengembalaan kerbau pun menjadi pemukiman baru.Â
Selanjutnya, pengembang mulai mengantar areal persawahan. Satu kompleks perumahan sukses di sana. Dampaknya, sawah stradisional berkurang.
Mimpi swasembada beras yang dimulai dari daerah pun seolah mimpi saja. Karena setiap tahun, pengembangan kota terus terjadi. Selain bangunan pemukiman, pembangunan ruko juga masih terjadi. Lagi-lagi, sawah tradisional sekitar jalan kabupaten dan jalan provinsi yang paling diminati.
Peluang bisnis menjadi pilihan bagi pengusaha untuk memanfaatkan lokasi strategis di pinggir jalan. Lalu, tawaran nilai rupiah yang tinggi membuat pemilik sawah mudah saja melepas asetnya.Â
Dalam 10 tahun ke depan, pemandangan sawah bisa tergantikan oleh bangunan pemukiman dan ruko. Topografi wilayah Tana Toraja yang dominan perbukitan membuat areal persawahan sebagai lokasi paling strategis untuk membangun.Â