Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Guru Resign Karena Lingkungan Kerja Yang Toksik?

14 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 14 Desember 2024   14:32 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru dan konten kreator, Hendra Brudy bersama rekan-rekannya. (Sumber: tangkapan layar akun TikTok Hendra Brudy) 

Jika dibawa ke dalam lingkungan kerja, maka toksik bisa berarti pengaruh buruk. Lingkungan kerja yang toksik bisa hadir dalam berbagai bentuk. Pemicu utamanya adalah kecemburuan yang bermuara da tidak adanya sikap saling menghargai. 

Sudah menjadi fakta umum bahwa kecemburuan selalu hadir di lingkungan sekolah. Cemburu karena guru lain berprestasi, naik jabatan, penghasilannya lumayan, dll. 

Jika saya analisa dan dikaitkan dengan kondisi Hendra Brudy, bisa saja lingkungan  kerja yang toksik itu muncul karena lingkungan telah melihat bahwa pak guru Hendra telah sukses besar sebagai konten kreator di TikTok dan berpenghasilan luar biasa. 

Tak bisa dipungkiri bahwa besarnya penghasilan pak guru Hendra dari TikTok telah membawanya keliling dunia dan bahkan mampu membeli rumah mewah versi dirinya.

Itu menurut analisa saya. Dan wajar dalam lingkungan sosial yang heterogen ke-toksik-an lingkungan kerja pasti ada. Tak ada manusia yang sempurna mengolah emosi dan pikirannya ketika melihat perubahan di sekitarnya. 

Saya sendiri mengalaminya. Ketika kita sering mendapatkan undangan dan diutus mengikuti diklat, pasti ada rekan guru yang cemburu. Efek toksiknya hadir manakala cerita miring kita tanggapi. 

Tetapi, toksiknya lingkungan kerja bisa diatasi. Bangun positive thinking dan percaya diri. Bangun komunikasi dengan pimpinan, guru senior, rekan kerja, dan keluarga. 

Kalau memang lingkungan  kerja dianggap toksiknya sangat parah, bisa berkomunikasi dengan pemangku kepentingan di atasnya. Opsi mutasi tempat kerja bisa diambil. 

Saya masih menerawang, seberapa parah toksiknya lingkungan kerja yang dimaksud pak guru Hendra yang membuatnya resign demi kesehatan mental dan fisiknya? Apakah toksik di lingkungan sekolahnya atau apakah karena tuntutan administrasi sebagai guru dan kewajiban masuk kelas yang banyak? 

Postingan beliau di IG, FB dan TikTok sebenarnya sudah banyak menyinggungnya. Terkait kebijakan di sekolah dan sistem yang ada. 

Di sisi lain, (mohon maaf, ini pemikiran saya), bisa saja pak guru Hendra memilih resign karena ia telah melihat bahwa ia lebih sejahtera sebagai konten kreator dan sekaligus sebagai influencer. Harus diakui, menjadi guru dengan status bersertifikat pendidik belum tentu membuat kita bisa keliling dunia dan mampu membeli rumah impian sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun