Bertani dan bercocok tanam adalah salah satu karakter kuat kehidupan warga Indonesia. Bertani secara tradisional pun masih sering dijumpai di berbagai pelosok Tanah Air.Â
Memang teknologi canggih telah membawa alat-alat pertanian menjangkau perkampungan dan pelosok, termasuk di Kabupaten Tana Toraja. Hanya saja, fakta yang terlihat adalah warga lokal lebih memilih bertani manual.Â
Hanya mesin traktor tangan yang terpakai secara umum. Itu pun terbatas. Traktor hanya berfungsi di lahan persawahan yang agak luas dan medan rata. Sisanya, warga mencangkul secara manual atau memanfaatkan kerbau untuk membajak.Â
Khusus di wilayah pelosok, sawah di Toraja memiliki lebar yang unik. Mulai dari 30 cm hingga 1 meter. Hal ini dikendalikan oleh topografi wilayah yang berupa perbukitan.
Maka, kekuatan tradisi bertani secara tradisionallah yang menempati tanding pertama pilihan warga. Satu konsep bertani tradisional yang masih terpelihara sampai detik ini adalah mantanan pare.Â
Semua wilayah di Kabupaten Tana Toraja masih mempertahankan tradisi mantanan pare secara bergotong-royong. Meskipun lokasi persawahan ada di sekitar kota Makale, kerumunan warga mantanan pare akan selalu ditemui setiap masa tanam padi.
Dalam bahasa Toraja, mantanan artinya menanam dan pare artinya padi. Mantanan pare = menanam padi.Â
Mantanan Pare bukan sekedar aktifitas menanam padi di sawah dan selesai. Ini adalah tradisi suku Toraja yang masih mengakar dengan sangat kuat hingga saat ini.
Gotong-royong adalah makna yang terkuat dalam kegiatan mantanan pare. Warga saling membantu untuk menanam padi tanpa imbalan. Secara bergantian, lahan sawah yang siap tanam padi akan "diserbu" oleh para tetangga.Â
Tradisi mantanan pare adalah salah satu implementasi praktik baik gotong-royong suku Toraja dalam konsep ma'kombongan. Pekerjaan yang berat sekalipun akan selalu mudah ketika bekerja bersama-sama.