Pada bagian verifikasi berkas, saya meloloskannya. Namun, ia terhambat ketika berada di depan operator. Perbedaan data akte lahir dan KK menjadikan proses daftarnya tertunda.Â
Beruntung, berkas tersebut ditandai untuk kami tindaklanjuti. Pada sore hari setelah pelayanan verifikasi berkas, kepala satuan pendidikan selaku penanggung jawab mengadakan rapat evaluasi bersama seluruh panitia.Â
Salah satu kasus yang terungkap adalah kasus anak tadi. Selanjutnya, kami mencari informasi terkait anak tersebut. Kebetulan ada satu guru di sekolah yang bertetangga dengannya. Berdasarkan informasi dari guru tersebut, memang benar adanya kondisi sang anak.
Setelah menerima semua masukan, kami sepakat menerima verifikasi berkas anak tersebut dengan dasar kemanusiaan. Tak semua anak beruntung memiliki orang tua yang lengkap dan resmi.Â
Meskipun bertentangan dengan juknis PPDB, tetapi kami semua siap bertanggungjawab pada pengumuman kelulusan jalur zonasi nantinya. Situasi tersebut tak terkover dalam juknis PPDB.Â
Kejadian pada anak tersebut sudah mewakili kondisi yang sama pada dua kasus lainnya. Sekolah wajib menerima mereka. Memang situasi ini membawa kami panitia PPDB dalam dilema etika yang berat. Antara ikut juknis atau mengutamakan kemanusiaan. Terlebih, ada program gubernur Sulawesi Selatan yang mewajibkan sekolah menjemput anak putus sekolah. Maka tindakan kami menerima anak dengan status perkawinan orang tua yang tak resmi telah membantu mengurai angka putus sekolah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H