Kecamatan Simbuang, Tana Toraja yang terpencil kembali menjadi tujuan saya dalam rangka melaksanakan pendampingan individu (PI) keenam program pendidikan guru penggerak kepada seorang calon guru penggerak. Perjalanan keenam ini adalah yang terberat yang pernah saya jalani menuju Simbuang. Seperti apa beratnya perjalanan saya kali ini, berikut kisahnya.Â
Jadwal PI 6 untuk wilayah Tana Toraja sebenarnya tanggal 1-5 April 2024 karena menyesuaikan dengan libur Paskah. Namun, saya memilih mengambil tugas pendampingan ini mengikuti jadwal resmi yang sudah ada dengan mempertimbangkan kondisi cuaca, pelaksanaan ujian sekolah dan kegiatan Paskah.Â
Peralatan keamanan perjalanan berupa dua buah mantel hujan saya ikat di motor. Sementara sepatu boot buat keamanan kaki dari lumpur dan batu. Tak lupa sekotak nasi disiapkan istri tergantung di motor. Saya berangkat dari kota Makale pukul 16.40 wita. Cuaca cerah disertai sisa cahaya matahari menemani saya. Jalur pintas melalui kompleks PLTA Malea Energy saya pilih untuk memangkas jarak dan waktu tempuh. Jarak 69 km menuju Lembang Puangbembe Mesakada saya perkirakan ditempuh dalam waktu 3-4 jam jika kondisi jalan "bagus."Â
Pukul 17.15, saya sudah berada di Lembang Poton, Kecamatan Bonggakaradeng. Ternyata hujan lebat baru saja selesai. Kabut tebal sisa hujan menutupi pandangan saya. Jarak pandang hanya 10 meter. Otomatis laju saya sangat melambat. Pada sejumlah titik, luapan air memotong jalan bercampur lumpur dan bebatuan.Â
Titik longsor pun sayup terlihat di balik tebalnya kabut. Sekitar 2 kilometer pandangan saya tertutup kabut. Lampu kabut motor pun tak mampu menembus tebalnya kabut. Beruntung, jalan raya di sana baru saja diaspal.Â
Tak terasa, target 1,5 jam mencapai jembatan sungai Masuppu' tak akan terwujud. Musababnya, memasuki Lembang Mappa' waktu sudah menunjukkan pukul 18.05. Hujan masih rintik-rintik. Tangki motor pun menipis terlihat dari indikatornya. 4 botol pertalite menjadi menu makanan tunggangan roda dua menembus jalan yang masih misterius kondisinya selepas hujan lebat. Tak lupa membeli sebotol air mineral satu-satunya yang tersisa di kios tersebut.Â
Tak ada motor melintas. Suara binatang hutan mulai ramai. Lewat dusun Sandangan yang indah setelah hujan sedikit menghibur. Demikian pula dusun Limbong, kampung terakhir sebelum masuk akses jalur menuruni trek Sa'dan. Jalan rabat beton hampir semuanya menjadi lintasan luapan air hujan. Sejumlah bebatuan menutupi ruas jalan. Sungai kecil karya hujan lebat pun beberapa kali memotong jalan.Â
Setelahnya, jalur tanah yang selama ini mengkilat dari bekas ban kini berubah pucat asli tanah. Tak ada bekas ban. Cuma saya seorang diri yang melintas.Â
Pagar pembatas ternak liar yang oleh warga lokal disebut sulu' menyambut saya. Ini adalah pintu rimba keluar dari peradaban. Sulu' ini adalah tanda masuk jalur Simbuang yang sesungguhnya. Pukul 18.20 saya berada di titik ini.Â
Saya berhenti sejenak mengabadikan jejak perjalanan terakhir saya pada program pendidikan guru penggerak Angkatan 9. Saya memandangi jalan yang hanya berupa tanah. Beruntung sekali lagi, motor yang saya tunggangi sendiri adalah jenis trail. Sebenarnya petang mulai temaram, langit kelabu tertutup awan. Efek kamera handphone, hasil foto menjadi terang benderang.Â