Tak ada orang yang mau hidup susah. Semua ingin hidupnya sukses. Berliku jalan ditempuh untuk bisa hidup dalam kelompok sukses. Hidup pas-pas saja bukanlah pilihan. Bukan pula kebetulan. Kadang prosesnya yang membuat demikian. Kelas bawah atau kelas menengah, level kehidupan yang ditinjau dari sudut penghasilan ini telah dan sementara saya jalani.Â
Menjalani kehidupan dari titik nol dua puluh tahun yang lalu bukanlah perkara mudah bagi saya. Hidup berganti-ganti rumah atau lebih kerennya menumpang di rumah orang saya jalani sejak kelas 6 SD. Penyebabnya adalah orang tua tak mampu membiayai sekolah. Kehidupan kedua orang tua yang hanya sebagai petani penggarap sawah orang lain dan sesekali menjadi buruh petik cengkeh tak membuat ekonomi keluarga membaik untuk menopang kami 5 bersaudara.Â
Jadi, saya bukanlah warga kelas menengah murni. Kelas bawah saya nikmati hingga tahun 2009. Terlunta-lunta dan pindah menumpang dari satu rumah ke rumah orang lain di kampung saya jalani hingga masuk SMP. Tujuan saya sederhana, asal saya bisa makan dan ada tempat untuk tidur. Saya mencari keluarga yang bisa membuat saya nyaman, tidak terintimidasi pekerjaan dan kata-kata.Â
Hingga pada akhirnya saya bertemu satu keluarga yang pada akhirnya membuat saya menjadi "orang." Berawal dari tayangan sepakbola SEA GAMES 1997, saya datang menonton ke rumah yang saat itu menjadi satu dari tiga rumah yang memiliki antena parabola di kampung.Â
Keahlian memprediksi hasil skor akhir sepakbola membuat tuan rumah meminta saya tinggal di rumahnya. Sekolah saya ditanggung penuh. Makan teratur dan pakaian tersedia. Pekerjaan rutin sebelum dan sesudah jam sekolah adalah menggembalakan sapi. Pada hari pasar, saya membantu tuan rumah menjual pakaian.Â
Meskipun hidup sudah terjamin, tapi di sela-sela waktu luang saya masih mencari pekerjaan serabutan. Membersihkan kebun orang  dengan upah harian dan borongan. Saat itu gaji hanya 15 ribu per hari ditanggung makan siang.Â
Di masa memasuki kuliah, saya sempat menjadi buruh petik cengkeh dengan gaji 20 ribu rupiah selama 13 hari. Hasilnya saya gunakan untuk mendaftar kuliah S1 di salah satu kampus swasta.Â
Kuluarga yang telah mengangkat saya sebagai anak tak tahu bahwa saya mencari pekerjaan lain. Singkatnya, keluarga penjual kain tersebutlah yang mengangkat derajat hidup saya. Memasuki tahun 2009, kelas bawah hidup saya boleh dikata masuk middle class. Saya lulus seleksi CPNS dan menerima SK per Maret 2009.
Berbekal SK CPNS, saya berhasil memiliki sebuah sepeda motor. SK CPNS dan motor adalah harta milik paling nerharga yang saya miliki. Meskipun keluarga yang mengangkat saya sebagai anak telah memenuhi apa yang saya butuhkan, tetapi saya tetap berusaha mandiri.Â