Perjalanan dan pengalaman hidup seseorang berlangsung baik pada masanya. Sama seperti ketika saya dulu di bangku sekolah sejak SD hingga SMA. Periode pendidikan saya saat itu adalah tahun 1990 hingga awal tahun 2000. Guru adalah sosok yang sangar bagi saya. Mendengar kata guru saja saat itu, sudah ada rasa enggan bertemu secara langsung. Bukan karena tidak mau bertemu atau karena jengkel. Melainkan ada rasa "takut" bertemu guru karena guru itu adalah sosok yang istimewa.Â
Ketika berjalan saja lalu ada guru yang sedang berjalan di depan, saya menahan laju agar tidak mendahului guru. Nah, kontras dengan kondisi saat ini, saya juga adalah seorang guru, namun kehidupan masa saya menjadi siswa dengan sudah menjadi seorang guru sangat berbeda dengan masa saya sekolah dulu. Boleh saya katakan, guru dan siswa berada dalam istilah "siapa lu siapa gue".
Siswa kini cenderung menyapa dengan hormat hanya pada guru kelas atau guru mata pelajaran mereka saja. Jika bukan gurunya, siswa cenderung cuek dan seolah tidak kenal. Sehingga, jangan harap ada sapaan "selamat pagi pak, selamat pagi bu, dll." Bahkan bertemu siswa di emper sekolah ketika musim hujan, misalnya, guru sudah berjalan di tempat yang terkena air hujan, namun siswa cuek saja membiarkan gurunya berlalu tanpa memberikan tempat aman berteduh bagi gurunya.
Dalam dua tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia seperti mengalami gejolak dari dalam dirinya. Kasus demi kasus antara siswa dan guru serta orang tua siswa terjadi di sekolah. Padahal sekolah dan guru adalah satu kesatuan proses pelaksanaan pendidikan. Dalam pendidikan ada proses pembangunan karakter anak. Karakter yang memburuk barangkali adalah dasar dari kurangnya penghargaan siswa kepada gurunya. Apakah guru yang gagal meletakkan dasar karakter yang baik bagi siswa atau karena faktor lingkungan dan perkembangan zaman? Apakah guru juga terlibat secara tidak langsung terhadap perilaku tidak menghargai orang lain? Lalu, mengapa saat ini siswa cenderung melihat guru bukan lagi sosok istimewa dalam dirinya? Guru bukan lagi sosok yang perlu dihargai?Â
Di luar mungkin adanya peran penting guru dalam pendidikan yang tentu memberikan dampak pada hilangnya rasa penghargaan siswa pada gurunya, saya melihat ada hal lain yang menjadi penyebabnya. Hilangnya sense of belonging dalam diri siswa, menurut saya adalah salah satu penyebab utama dari sekian banyak faktor yang ada. Sense of belonging adalah rasa memiliki dalam diri seseorang yang membuat dirinya nyaman dan memiliki perhatian pada satu lingkungan atau organisasi tempat ia berada. Sense of belonging ini sepertinya turut hilang pada diri siswa. Sekolah dipandang sekedar sebagai institusi yang memberikan tanda menyelesaikan tahapan pendidikan. Dengan kata lain, kegiatan bersekolah hanya dilihat sebagai sebuah rutinitas saja. Kondisi ini juga turut berdampak pada pandangan siswa terhadap gurunya.Â
Minimnya rasa memiliki siswa terhadap lembaga pendidikan yang ditempatinya dapat menjadi biang menurunnya rasa hormat siswa kepada guru-gurunya di sekolah. Siswa tidak memiliki sekolah sebagai rumahnya. Termasuk siswa bukan lagi melihat guru sebagai pengganti orang tuanya selama berada di sekolah. Siswa seolah tidak melihat guru-gurunya sebagai sumber inspirasi, pemberi motivasi dan pemberi teladan.Â
Kemampuan berperilaku siswa kepada gurunya serta merta akan mempengaruhi cara berpikir dan cara pandangnya pada guru. Terlebih ketika sense of belonging telah menghilang tentu akan membangun jarak komunikasi antara siswa dan gurunya. Siswa bukannya merasa nyaman di sekolah, tetapi melihat guru sebagai beban. Maka "kriminalitas" siswa terhadap guru pun mulai timbul. Coretan-coretan hingga mural tentang ekspresi siswa pada guru mulau bermunculan pada dinding sekolah, toilet dan meja. Perusakan kecil-kecil pada aset yang dimiliki  guru di sekolah, misalnya menggores kendaraan, mengempeskan ban, mematahkan kaca spion, menyenggol kendaraan guru, dll.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI