Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tuak Dalam Kehidupan Masyarakat Toraja

15 September 2023   13:57 Diperbarui: 17 September 2023   20:35 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tuak yang hadir pada kegiatan masyarakat Toraja. Sumber: dok. pribadi

Tuak adalah jenis minuman beralkohol yang berasal dari sadapan pohon enau.  Tuak biasanya dikenal dengan air nira atau ballo' (versi bahasa Bugis). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan local alcoholic beverage. Lalu, dalam bahasa Toraja tuak juga memiliki sebutan lain, yakni mayang atau manyang. Sebutan mayang atau manyang banyak ditemui di Tana Toraja bagian Bonggakaradeng dan Rano. Dalam bahasa informal sehari-hari tuak juga dikenal dengan istilah pamba'ta melambi dan pamba'ta karuen. Pamba'ta melambi' artinya tuak yang dipetik/dipanen di pagi hari dan pamba'ta karuen adalah tuak yang dipanen di sore hari.

Enau dalam bahasa Toraja dikenal dengan nama induk. Pohon yang satu rumpun dengan palmae ini tumbuh subur di hampir seluruh wilayah Toraja, baik Tana Toraja maupun Toraja Utara. Wilayah penghasil tuak terbesar di Toraja adalah Kecamatan Rembon, Makale Selatan, Bonggakaradeng, Rano dan Gandangbatu Sillanan. Khusus Bonggakaradeng, Makale Selatan dan Rano, tiga kecamatan ini adalah penyuplai tuak terbesar untuk wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca yang cenderung panas karena ketiga kecamatan berada di aliran sungai Sa'dan.

Bagi masyarakat umum, tuak masuk kategori minuman beralkohol yang banyak ditemui pelarangannya di berbagai daerah untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan secara bebas. Di Sulawesi Selatan, tuak paling umum ditemui sebagai komoditi yang banyak diperjualbelikan di daerah Tana Toraja dan Toraja Utara. Sementara di daerah Enrekang, Sidrap dan Pinrang seringkali pula ditemukan penjualan tuak manis di beberapa ruas jalan provinsi. 

Suku Toraja bertani tuak bukan untuk dibuat gula merah seperti yang dilakukan oleh suku lain. Orang Toraja memproduksi tuak sebagai minuman sehari-hari. Oleh karena tuak telah menjadi kebutuhan harian orang Toraja, maka turut pula mempengaruhi roda perekonomian. Sudah tak terhitung berapa keluarga yang sukses menyekolahkan anak-anaknya, membangun rumah hingga membeli kendaraan dari hasil menjual tuak. Jadi, jangan heran jika Anda berkunjung ke Toraja, akan menemui ratusan pengendara motor dengan muatan jergen kapasitas 2 liter hingga 50 liter yang memuat tuak. Adapula yang menggunakan kendaraan roda empat dan truk. Mereka setiap pagi berangkat dari kampung-kampung untuk menyuplai dan menjual tuak ke pasar-pasar tradisional, pasar modern, kios hingga lintas kabupaten ke Toraja Utara. Tuak ini boleh diaktakan sebagai emas gandeng karena sebagian besar penjual tuak menggandeng tuak untuk dipasarkan. Hampir semua rumah makan khas orang Toraja menjual tuak. Sementara di kota Makale dan Rantepao, akan ditemui di beberapa penjual tuak kaki lima dengan ratusan jergen penuh tuak berjejer di sepanjang pinggir jalan atau lorong yang menjual tuak hingga larut malam.

Oya, Toraja Utara memiliki ciri khas tuak tersendiri. Tuak di Toraja utara biasanya berwarna putih kemerahan. Tuak ini disebut tuak pa'buli. Sementara di Tana Toraja tuak dominan berwarna alami dengan warna putih. 

Bagi masyarakat Toraja, secara umum tuak menempati posisi yang strategis. Tuak terkait langsung dengan aktifitas sosial budaya. Dengan kata lain, tuak tidak terpisahkan dari perjalanan kehidupan sosial dan perekonomian warga Toraja. 

Dari sisi budaya, tuak menempati peran penting dalam setiap pelaksanaan acara adat, baik berupa syukuran (rambu tuka') maupun kedukaan (rambu solo'). Di manapun kegiatannya, apakah di kampung atau di kota, tuak pasti ada dan selalu diupayakan  untuk dihadirkan oleh warga atau keluarga yang menyelenggarakan kegiatan. 

Pada ritual adat rambu solo' dan rambu tuka' baik yang masih murni ritual aluk todolo (kepercayaan orang Toraja) maupun ritual dibawah agama Kristen dan Katolik, tuak menempati posisi strategis. Khusus pada ritual aluk todolo, tuak, menjadi bagian dari persembahan/sesaji pada ritual memberi makan orang mati/jenazah. Sementara pada konsep ritual adat yang berbaur dengan nuansa keKristenan, tuak tetap menjadi ciri khas. Keluarga yang datang mengikuti syukuran atau kedukaan, biasanya membawa tuak sebagai persembahan bagi keluarga. Tradisi ini masih dipertahankan hingga kini, meskipun sudah mulai modern dengan cukup membawa uang dalam amplop. Terlebih jika keluarga/rombongan rumpun keluarga membawa pa'piong, babi dan kerbau, pasti ada tuak sebagai pendampingnya. 

Dalam kehidupan sehari-hari, tuak bukan sekedar minuman beralkohol. Tuak kadang menjadi penyambung tali silaturahmi persaudaraan. "Inde komi ta mangngiru'tuak sangmane." Kalimat ini sering dijumpai ketika bertemu sekelompok orang yang sedang minum tuak di Toraja. Umumnya, tuak dinikmati di sore hari hingga malam oleh orang Toraja. Oleh karena Toraja umumnya dingin, maka tuak juga berperan menghangatkan badan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun