Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Penggerak Belum Tentu Jadi Kepala Sekolah, Tergantung Ini

6 September 2023   17:33 Diperbarui: 6 September 2023   17:56 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak lulus pendidikan guru penggerak angkatan 4, hadir pula kebijakan tentang pengangkatan kepala sekolah dan pengawas sekolah dari guru penggerak. Kebijakan tersebut pun telah direspon dengan baik oleh berbagai kabupaten/kota dan provinsi di seluruh Indonesia. Sementara secara umum di daerah saya, pengangkatan kepala sekolah dari alumni guru penggerak belum terlalu menjadi prioritas. Hanya sekitar 2% saja dari total alumni pendidikan guru penggerak yang telah mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah di lingkup provinsi.

Pada satu kesempatan, iseng-iseng saya mendengar pembicaraan ala warung kopi dengan beberapa kepala sekolah yang sementara menjabat. Saya pun mendengar bahwa guru penggerak belum tentu jadi kepala sekolah, tergantung dari pendekatan kepada pimpinan tertinggi di daerah/provinsi. Kata tergantung ini ada benarnya juga. Sesuai dengan fakta yang ada bahwa tidak ada lulusan murni pendidikan guru penggerak yang diangkat menjadi kepala sekolah di daerah saya sejak tahun 2021. 

Khusus pada jenjang SMA/SMK hanya ada satu lulusan pendidikan guru penggerak yang menjabat sebagai kepala sekolah. Yang bersangkutan pun sudah memiliki Nomor Unik Kepala Sekolah (NUKS) ketika ditunjuk sebagai kepala sekolah dan saat itu sementara mengikuti pendidikan guru penggerak. Di tingkat pendidikan dasar pun, baru satu lulusan guru penggerak yang menjabat kepala sekolah. Prosesnya pun sama dengan yang ada di SMA/SMK. Ia telah menjadi kepala sekolah ketika sedang mengikuti pendidikan guru penggerak.

Mungkin imbas dari maksud "tergantung" itu pula yang membuat dua SMA negeri daerah saya mengalami empat kali pergantian kepala sekolah dalam kurun waktu 8 bulan. Bahkan satu sekolah kembali harus menunggu kepala sekolah kelima memasuki bulan September ini. 

Para kepala sekolah yang masuk ketegori sekolah kecil inilah yang selalu mengalami rotasi dalam dua tahun terakhir. Ada yang baru hitungan sebulan menjabat sudah diroling lagi dengan kepala sekolah lain. Di sisi lain ada dua SMA negeri dalam kategori sekolah unggulan dan besar yang ada di ibu kota kabupaten tidak pernah tersentuh mutasi kepala sekolah. Mungkin inilah yang dikatakan di pembicaraan ala warung kopi bahwa, meskipun sudah ada lulusan guru penggerak, belum tentu mereka akan jadi kepala sekolah, tergantung pendekatan. Kalimat ini dikuatkan oleh salah satu kepala sekolah dari sekolah yang tidak tersentuh mutasi hingga gubernur memasuki akhir masa jabatan. Tambahan pula, justru sekolah-sekolah yang ada guru penggeraknya yang tak terimbas mutasi yang telah berlangsung berkali-kali.

Melanjutkan pendengaran saya lagi, ada yang menambahkan bahwa ia sulit digeser atau dimutasi bahkan oleh kepala cabang dinas sekalipun karena ia memiliki "bekingan" di inspektorat. Satunya lagi menanggapi santai sambil terkekeh bahwa ia"dipegang" oleh pejabat kejaksaan. Wah.... memang benar ya...bahwa guru penggerak pun memang belum tentu diangkat menjadi kepala sekolah. 

Sementara di kalangan guru-guru pun berseloroh, pantas saja biar kertas dan penghapus papan susah didapatkan di sekolah karena biaya ATK sudah dianggarkan ke "pendekatan". Bisa benar bisa pula keliru. Tapi itulah komentar yang menghiasi sekolah-sekolah negeri saat ini di tempat saya. 

Sebuah kondisi yang mungkin berjalan seirama dengan proses rekrutmen pengawas sekolah dari guru penggerak. Meskipun sudah lulus uji kompetensi, sekali lagi, komentar yang identik  masuk ke telinga saya di parkiran sekolah kemarin, "tergantung pendekatan pak, tergantung berapa isi salam tempelnya dan tergantung siapa yang bersedia memberikan ikan mas, itu yang terpilih." 

Secara pribadi saya senyum-senyum saja mendengar pembicaraan mereka. Saya sebagai salah satu guru penggerak tak pernah meminta jabatan dan tak memiliki pula pejabat untuk menjadi media penyampai pesan kepada pengambil kebijakan. Saya hanya menjalankan tugas pokok saya sebagai pendidik di sekolah. Toh, kalau rejeki saya dan teman-teman guru penggerak lainnya mendapat kesempatan untuk menjadi kepala sekolah suata hari nanti, itu adalah takdir Yang Maha Kuasa.

Benar-benar ya dilema sebagai guru penggerak. Semua kembali kepada Yang Maha Kuasa, ke mana Ia berkehendak menunjukkan jalan terbaik bagi umat-Nya. Intinya, sebagai guru penggerak, saya tetap fokus pada pembelajaran yang berpusat pada murid dan menerapkan apa yang telah saya dapatkan selama mengikuti pendidikan guru penggerak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun