Memiliki anak adalah impian bagi hampir semua orang. Harapan ini berlaku untuk mereka yang telah menikah maupun yang baru merencanakan mencari pasangan hidup. Ketika telah memiliki anak maka dunia parenting memiliki keseruannya sendiri. Keseruan ini bukan hanay karena mimpi memiliki anak telah terwujud, namun secara psikologis memiliki anak seringkali menjadi pembawa keceriaan dan tantangan dalam rumah tangga.
Sebagai kepala rumah tangga, saya memiliki tanggung jawab dalam mengarahkan dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di samping kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, saya pun memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis keluarga kecil kami.Â
Kebutuhan emosional yang nyaman bagi saya adalah ketika tercipta suasana nyaman dalam sirkualsi kehidupan berumah tangga. Sementara kebutuhan psikologis tidak terlepas dari terpenuhinya kebutuhan emosional. Pikiran nyaman, perasaan bahagia dan selalu hadir semangat kerja setiap hari karena ditopang oleh suasana rumah tangga yang nyaman.Â
Saya yang menjalankan tugas pokok selaku guru di sekolah tidak lepas dari peran memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis tersebut. Secara sederhana saya mengatakan seperti ini. Secara pribadi, saya tidak bisa tenang meninggalkan rumah untuk mengajar di sekolah atau melaksanakan tugas di lingkungan masyarakat ketika saya mendapati anak saya menangis. Sisi emosional dan psikologis saya terganggu. Jadinya, saya mengajak anak untuk ikut saya ke sekolah. Perasaan saya nyaman dan anak pun tenang.
Saya dan istri sama-sama adalah abdi negara sebagai PNS dalam peran yang berbeda. Saya seorang guru sekolah menengah atas dan istri adalah PNS di kantor Dinas Kesehatan kabupaten. Sejak anak pertama yang kini segera akan menginjak kelas 4 sekolah dasar, saya telah terbiasa mengasuh anak sambil menjalankan tugas sebagai guru PNS. Sekarang telah hadir anak kedua, saya pun masih mendapat kesempatan yang lebih banyak dalam hal mengasuh kedua anak kami.
Sebenarnya kami telah berbagi tugas dalam hal mengasuh anak. Namun, ternyata istri saya justru lebih terganggu pekerjaannya jika anak sering ikut bersamanya. Mengingat pekerjaan istri di kantornya lebih banyak turun ke lapangan, seperti ke puskemas, rumah sakit, rumah-rumah penduduk dan melakukan sosialisasi ke berbagai tempat. Belum termasuk ketika hampir setiap bulan istri keluar daerah mengikuti bimtek dan pelatihan.
Kami sendiri sudah berkomitmen untuk tidak mempekerjakan pengasuh anak di rumah atau menitipkan anak ke neneknya di kampung. Kami sepakat bahwa biarkanlah nenek dari anak-anak menikmati masa tua mereka. Toh, setiap ada waktu luang kami akan berkunjung ke kampung.Â
Di samping itu, secara pribadi saya merasa lebih nyaman secara emosional jika mengasuh anak sendiri. Memang kadang kala pekerjaan akan terkena dampak sesekali manakala anak juga mengeskpresikan masa pertumbuhan dan perkembangannya.Â
Seperti rewel saat lapar, buang air atau mengantuk. Namun, bagi saya itu adalah keseruan mengasuh anak. Saya sudah terbiasa tiba di sekolah ditemani anak dan seperangkat peralatan balita. Susu, termos air panas, popok, baju ganti dan selimut adalah tambahan isi tas ransel ke sekolah. Kasur balita pun sudah saya ready-kan di laboratorium bahasa ruangan tempat saya beristirahat seusai mengajar.Â