Kejaksaan Agung secara resmi telah menetapkan eks Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate sebagai tersangka dugaan korupsi. Kasus ini terkait  penyalahgunaan anggaran pada proyek pengadaan infrastruktur BTS 4G tahun 2020 s.d. 2022. Adapun kerugian negara terkait dugaan korupsi tersebut mencapai 8 triliun rupiah.Â
Penetapan Menkominfo Johny G. Plate sebagai tersangka korupsi pengadaan BTS menuai banyak komentar dan pendapat. Pro dan kontra terkait penangkapan dan pemakaian rompi khas Kejaksaan Agung kepada Sekjen  Partai Nasdem tersebut ikut memanas dalam beberapa hari terakhir.
Setiap hari suguhan informasi utama masih terkait kasus ini. Mengapa sampai populer? Jawabannya adalah karena timing penetapan politisi Nasdem tersebut bertepatan dengan tahun politik. Seperti kita ketahui bersama bahwa Nasdem secara terang-terangan telah memilih jalan sendiri terkait pencapresan. Partai yang dimiliki Surya Paloh tersebut jauh-jauh hari telah memilih dan menetapkan eks Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden yang akan diusung di Pilpres tahun 2024.Â
Tambahan pula bahwa secara tidak langsung Partai Nasdem telah memilih jalan sendiri ketika koalisi dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo belum berakhir. Di lain pihak, partai-partai pendukung pemerintah sejauh ini telah mengumumkan pula bacapresnya, yakni PDIP mengusung Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Gerindra dkk. mengusung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Menyimak dari sisi komentar yang pro, baik dari pendukung pemerintah maupun selaku masyarakat umum, penegakan hukum terhadap tindakan korupsi mendapat dukungan. Tindakan hukum tidak pandang bulu.Â
Nah, penetapan Johnny G. Plate pun langsung dikaitkan dengan pencapresan dan pilihan politik Partai Nasdem. Setuju atau tidak, baik masyarakat polos, pakar politik hingga pakar hukum, langsung mengaitkannya dengan politik. Di sini, sasaran tembak yang disalahkan adalah Presiden Jokowi selaku pemerintah.
Dari sisi koalisi perubahan yang berisi Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS, inti kontra adalah "menyalahkan" pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi. Presiden mereka tuding terlibat dalam penetapan kader Nasdem tersebut sebagai tersangka korupsi. Salah satu pendukung koalisi perubahan yang juga seorang pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dengan terang-terangan menyerang presiden Jokowi dan pemerintah. Komentar berisi tudingan beliau tulis dalam bentuk artikel. Kemudian hampir setiap saat pak Denny Inrayana wara-wiri di dua stasiun TV, Metro TV dan CNN Indonesia. Isi argumennya sama, menuding pemerintah melakukan politisasi penetapan Johny G. Plate sebagai tersangka.
Sebagai masyarakat biasa, tentu pikiran kita coba digiring kepada dua persepsi dari pro dan kontra tersebut. Namun, tensinya sejauh ini dominan yang wara-wiri di stasiun TV adalah komentar para politisi, pakar politik dan pakar hukum dari koalisi partai perubahan.Â
Tapi, ini wajar. Kenapa? Metro TV dan groupnya adalah media yang dimiliki ketua umum Partai Nasdem. Dengan demikian porsi pemberitaan cenderung "berat sebelah". Mau berpolitik santun dan sehat sepertinya makin rumit. Yang memberi komentar dan opini bahasanya sangat santun dan lembut. Tapi isi kalimatnya menohok  dan berat sebelah.
Demikian pun sebaliknya yang terjadi dari pihak pendukung pemerintah. Argumen dan dukungan atas keputusan tim penyidik Kejaksaan Agung selalu dimunculkan untuk mengimbangi "serangan" dari media-media nasional yang dimiliki oposisi.