Sedikit dilema sebenarnya, transmigrasi yang dicanangkan pemerintah puluhan tahun yang lalu yang didaulat sebagai cara memeratakan penyebaran penduduk agar tidak menumpuk di Pulau Jawa, jika dilihat dari kacamata awam saya sangat gagal.Â
Saya punya alasan, setidaknya masih dari kacamata awam saya. Saya khususkan di Lampung, tempat lahir saya si pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatea). Dahulu para orang tua kami pindah dari Pulau Jawa ke Lampung dengan harapan mendapatkan tempat untuk hidup yang lebih baik, namun yang mendapatkan hanya segelintir orang. Transmigrasi yang bertujuan agar pertumbuhan penduduk merata justru menambah jumlah penduduk di Pulau Jawa (pulau yang ditinggalkan). Kurangnya lapangan pekerjaan di sana (meskipun ada tapi gaji tidak seberapa), harga hasil ladang yang tidak cukup memenuhi kebutuhan, sistem pendidikan yang tertinggal (daripada di Pulau Jawa), dan masih banyak lagi alasan yang membuat anak para orang tua transmigran memilih meninggalkan Sumatera untuk merantau ke Pulau Jawa
Jika kita hitung secara matematika, misal dulu para transmigran pindah ke Sumatera hanya sepasang suami-istri atau paling tidak baru punya satu anak, lalu berkembang biak memiliki 5 anak, atau paling sedikit 3 anak. Lalu anak pertama yang lahir di Jawa merantau ke Jakarta karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan (mau kerja apa). Waktu berlalu, sang adik yang sudah lulus sekolah ikut pergi ke Jakarta karena melihat sang kakak terlihat sangat berhasil di rantauan. Lalu selang beberapa tahun kemudian si bungsu lulus seleksi kuliah di perguruan tinggi di Jawa. Di sini masalahnya, 3 transmigrasi, 3 pulang lagi.Â
Itu bagi yang sudah punya satu anak. Bagaimana jika transmigran (yang pergi ke Sumatera) dulu belum punya anak atau bahkan masih bujang gadis? Itu baru satu orang, bagaimana jika tiga bersaudara yang bertransmigrasi? Bagaimana jika satu RT, RW, desa?
Lalu ada lagi masalah jika anak yang merantau tadi menikah dengan perantau yang orang tuanya adalah transmigran juga. Lalu punya 3 anak di perantauan itu, menetap dan punya rumah dan menjadi orang ''Jawa'' lagi. Hitung saja, transmigran ke Sumatera 3 orang, salah satunya merantau dan punya anak tiga. Ini bukan pertumbuhan pertumbuhan penduduk yang merata, tapi justru menambah penduduk di Pulau Jawa, kan.
Alasan uang yang mengalir di Pulau Jawa memang lebih menguntungkan tidak bisa disalahkan. Pembangunan, pendidikan, dan semua sarana di Pulau Jawa memang lebih baik. Pulau di luar Jawa seperti anak tiri.Â
Saya lahir di Sumatera, pernah 3 tahun sekolah di Jawa, merasakan sistem dan sarana pendidikan di luar Jawa memang tertinggal saat saya melanjutkan sekolah lagi di Sumatera. Contohnya, saat saya pindah ke Jawa kelas 4 SD sudah ada pelajaran Bahasa Inggris, sedangkan di Sumatera baru ada pelajaran bahasa internasional tersebut saat mulai memasuki jenjang SMP, seperti sarana pendidikan yang lain, seperti komputer dan pelayanan publik seperti listrik. Listrik di Sumatera itu tidak terus menyala seperti di Jawa. Bahkan masih saya ingat dulu saat esok hari UN, malam ini mati lampu. Ya sudahlah, nungguin SMS kunci jawaban saja.
Di tempat saya di kampung, jika ada hujan lebat disertai guntur menggelegar mati lampu sudah bisa diprediksi, jika lampu itu hidup dan tidak sampai satu menit mati lagi itu pertanda akan lama. Jika malam hari mati lampu itu terjadi, kadang ada satu dua cerita ada yang kehilangan motor, hewan ternaknya ada yang ngambil, dan banyak cerita yang lain.
Itu baru di Sumatera, apa kabar dengan Kalimantan-pacar, Sulawesi, dan Papua sana?
Saya bukan mengeluh, ya sedikit saja sih. Jika pemerintah bisa membangun lapangan pekerjaan bergaji layak di tempat asal para perantau di kota besar di Jawa sana, mungkin macet dan masalah yang ribuan di Jakarta sana bisa teratasi. Masih banyak lagi masalah yang akan ditulis lagi.
Transmigrasi gagal, karena 1 pergi 5 kembali.Â