Buku berjudul "Ketika Sejarah Berseragam : Membongkar Ideologi dalam Menyusun Sejarah Indonesia" karya Katharine E. McGregor yang terbit pada tahun 2008 oleh Syarikat Yogyakarta berjumlah 6 bagian dan halaman 459. Buku ini awalnya terbit dengan bahasa Inggris oleh National University of Singapore Press (NUS Press) pada tahun 2007.
Buku karya Khatarine ini memberikan gambaran umum tentang kemajuan militer yang terlibat dalam penulisan sejarah bangsa. Menulis dengan judul “Ketika Sejarah Berseragam, Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia”, pikiran rakyat dipersatukan oleh penghakiman, atau dengan kata lain, dalam rezim yang diindoktrinasi. Pikiran rakyat dibentuk agar sesuai dengan pemerintah, yang memuji militer sebagai pahlawan sejati. Bentuk indoktrinasi yang dilakukan pemerintah saat itu antara lain buku, film, museum dan kursus pelatihan. Untuk merasionalisasi praktik indoktrinasi, pemerintah berusaha menciptakan narasi sejarah versi mereka sendiri untuk menetapkan legitimasi kekuasaan mereka. Seperti yang dikatakan Michael Sterner, “Di negeri tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lalu”.
Dalam setiap tindakan pemerintah selalu ada seseorang, bernama Nugroho Notosusanto. Pada masa pemerintahan Orde Baru, ia menjadi direktur Pusat Sejarah ABRI dari tahun 1965 hingga 1985. Ia juga menjabat sebagai Menteri Pendidikan pada masa Orde Baru, menyebarkan doktrin pemerintah kepada masyarakat melalui narasi sejarah dalam buku teks, film dokumenter, dan museum. Karya yang pernah dibuat beliau bersama Angkatan Darat dengan komando dari jendral A.H. Nasution adalah buku yang berjudul “Sedjarah Sngkat Perdjuangan Bersendjata Bangsa Indonesia” untuk membela interpretasi militer atas peristiwa pemberontakan Komunis Madiun 1948. Ia juga terlibat dalam proyek tersebut sebagai editor buku sejarah nasional berjudul Sejarah Nasional Indonesia, khususnya Jilid 5 dan 6. Dengan menafikan beberapa fakta bahwa ada beberapa golongan militer yang berperan penting melawan pemberontakan yang terjadi di daerah, buku ini berusaha menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dari ancaman keruntuhan.
Pada masa Orde Baru, monumen-monumen juga didirikan untuk tujuan desoekarnoisasi (penghapusan pengaruh Sukarno) dan untuk menginformasikan peran militer kepada masyarakat yang dianggap sebagai pahlawan nasional. Salah satu contoh monumen tersebut adalah Diorama Monumen Nasional yang sudah ada sejak zaman Sukarno. Namun pada masa Soeharto, diorama tersebut diubah dengan menghilangkan beberapa adegan yang menurut versi Suharto dianggap tidak penting. Ada juga lubang Buaya yang digunakan sebagai tugu peringatan Orde Baru. Monumen Pancasila Sakti juga dibangun di sekitar Monumen lubang Buaya. Monumen ini menunjukkan kekejaman dan kesadisan komunis terhadap tujuh jenderal yang berjasa besar bagi negara. Kiprahnya (Nugroho Notossanto) sebagai propagandis penguasa Orde Baru bisa dibilang sangat berhasil membawa ide-ide militer ke masyarakat. Bahkan pengaruhnya masih ada hingga sekarang.
Di bagian buku selanjutnya, Khatarine juga menekankan peran militer dalam kancah politik negara. Akibat keadaan darurat tahun 1957 dan 1963 serta penerapan konsep Jalan Tengah yang diprakarsai oleh A. H. Nasution, militer memiliki kekuatan ganda di bidang pertahanan dan politik sosial. Konsep ini dikenal luas sebagai konsep dwifungsi militer. Sebelumnya, pada pertengahan 1950-an, militer memiliki kekuatan seperti itu, tetapi masih samar-samar. Kemudian, setelah kudeta PKI tahun 1965, pemerintah semakin menekankan konsep dwifungsi militer. Personel militer saat itu memegang posisi penting dalam pemerintahan nasional selain posisi militer.
Sepeninggal Nugroho Notosusanto dan pensiunnya anggota militer generasi tahun 1945, Pusat Sejarah dan Militer ABRI tidak fokus pada persoalan sejarah masa lalu, tetapi lebih fokus pada pembentukan legitimasi bagi generasi selanjutnya. Kebijakan militer ini dilakukan oleh Museum Prajurit Nasional yang berfokus pada pahlawan pra-kemerdekaan dan mendukung perjuangan anti-kolonial.
Buku ini bisa dilihat sebagai oasis yang memberikan perspektif baru yang sama sekali berbeda dengan perspektif pemerintah selama ini. Buku ini juga dapat dijadikan pembanding dengan buku-buku sebelumnya sehingga masyarakat dan militer dapat melihat masa lalu secara lebih objektif dan tidak terlalu terjerat dalam romansa masa lalu yang diciptakan oleh orde baru.
Buku ini sangat direkomendasikan untuk orang-orang yang tertarik dengan sejarah, terutama sejarah Indonesia pada orde baru. Buku ini dapat menamnbah sudut pandang kita mengenai penulisan sejarah pasca orde lama, bahwa sejarah ditulis menyesuaikan dengan kepentingan pihak yang berwenang pada masa itu. Buku ini dapat membuka mata kita untuk melihat sisi lain dari sejarah yang ada di Indonesia.
Harga buku ini juga tidak terlalu mahal, kisaran Rp 80.000,00. Buku ini dapat ditemukan di toko buku dan juga melalui online sehingga cukup mudah dijangkau oleh mahasiswa serta mudah untuk dicari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H