Mohon tunggu...
Ourvoice Indonesia
Ourvoice Indonesia Mohon Tunggu... lainnya -

OurVoice adalah sebuah organisasi masyarakat sipil bagi kelompok maupun individu gay dan biseksual laki-laki. Organisasi ini juga membuka diri bagi kelompok atau individu yang memiliki kesamaan pandangan dan kepedulian terhadap isu-isu kemanusiaan, khususnya menyangkut isu orientasi seksual dalam masyarakat. OurVoice ditujukan bagi mereka yang ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Our Voice menjadi wadah bagi kelompok gay dan biseksual laki-laki untuk melakukan advokasi dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ibuisme*

22 Desember 2011   04:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hartoyo** Surga dibawah telapak kaki ibu. Itulah pesan yang kita dapat selama ini, sebagai salah satu cara untuk menghormati seorang perempuan yang melahirkan  maupun yang membesarkan kita. Baik ibu biologis maupun non biologis.  Terkesan mulia kedengarannya!  Tapi kalau kita refleksi dan kaji lebih jauh, makna kalimat itu  seperti pisau bermata dua.  Satu sisi seperti penghormatan tertinggi terhadap seorang ibu tetapi pada sisi lain sebenarnya upaya "membungkam" secara sistematis tubuh perempuan. Menjadi seorang ibu secara biologis (hamil, melahirkan dan menyusui) tentu harus dihormati dan sesuatu yang baik sebagai pilihan merdeka setiap perempuan.  Tetapi yang harus dipertegas bahwa ibu dalam konteks itu bukanlah sebuah kewajiban untuk melaksanakan tugas yang dianggap "kodrat"  perempuan oleh sebagian masyarakat. Ini adalah sebuah pilihan bebas sang pemilik rahim. Makna ibu sekarang ini bukan hanya dalam konteks hubungan biologis tetapi dapat bermakna hubungan relasi sosial (pekerjaan ataupun hubungan dengan masyarakat lainnya).  Hal ini dijelaskan oleh Julia Suryakusuma dalam buku Ibuisme Negara (2011: 4), bahwa konsep ibu di Indonesia bukan hanya persoalan keibuan biologis tetapi diperluas jangkauannya. Misalnya seorang perempuan yang tidak punya anak tetapi mempunyai kedudukan sosial yang penting atau terhormat bisa disebut ibu. Pemimpin perusahaan yang dipanggil dengan ibu direktur, tidak penting  apakah sudah menikah atau belum, mempunyai anak atau tidak. Seperti yang saya ungkapkan diawal kata ibu sendiri dapat mempunyai makna "terselubung" untuk "menggiring" tubuh perempuan tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan masyarakat,agama maupun negara, yang sebenarnya bukan untuk kepentingan perempuan sendiri tetapi kepentingan penguasa dalam hal ini budaya partriarki (budaya mengutamakan kepentingan laki-laki).  Perempuan seperti "dipaksa" menikah, hamil dan melahirkan dengan janji-janji surga yang kemudian diberikan label sebagai perempuan "solehah" atau mati syahid ketika meninggal dalam persalinan. Kemudian perempuan diberikan tanggungjawab penuh untuk merawat dan mengurus anak dalam ruang domestik tetapi tidak didukung oleh akses pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai. Sehingga tidak sedikit perempuan harus meninggalkan karier di publik ketika harus memilih menjadi ibu biologis.  Kalau masih ingin berkarir dipublik karena berbagai alasan, maka beban ganda yang akan dihadapi, sebagai ibu rumah sekaligus pencari nafkah. Ini konsekuensi menurut sebagian masyarakat dan negara!  Sehingga tidak heran menjelang hari ibu, di Jakarta ada spanduk bertuliskan "Ibu bijaksana, keluarga sejahtera, bangsa kuat".  Sepertinya baik buruknya generasi penerus bangsa hanya ada ditangan ibu. Dalam hal ini, institusi perkawinan yang dilanggengkan oleh masyarakat, pandangan agama dan negara mengontrol sedemikian rupa tubuh perempuan sebagai "mesin" untuk melahirkan anak bangsa. Peringatan hari ibu yang dirayakan setiap tahun pada 22 Desember dijadikan alat untuk melanggengkan beban tersebut.  Padahal sejarah pertemuan organisasi perempuan pada 22 Desember 1928 merumuskan persoalan nasionalisme dan kebangsaan Indonesia. Tapi malah oleh pemerintah sejak orde baru "dikerdilkan" maknanya sebagai peringatan untuk seorang perempuan yang berprofesi sebagai pendamping suami. Sejarah 83 tahun menjadi satu bukti kontribusi besar perempuan Indonesia untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.  Sepertinya itu semua tidak punya makna apa-apa selain sebagai simbol peringatan hari "housewifization" atau pengiburumahtanggaan atau yang kita kenal dengan "Hari Ibu".  Hal ini dibenarkan oleh Maria Mies (1986) yang dikutip oleh Julia Suryakusuma (2011:1) bahwa perempuan Indonesia secara kontruksi berperan dalam kerja produksi (peran gender) sekaligus untuk kerja produktif (peran biologis). Sehingga menjadi tepat ketika Irwan M. Hidayana, dosen Antropologi Universitas Indonesia dalam status facebooknya menuliskan "Selamat Hari Perempuan Indonesia, 22 Desember 2011"  bukan "Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2011". Pengiburumahtanggaan perempuan yang ditanamkan oleh pemerintah Indonesia dalam peringatan 22 Desember seolah-olah mengharuskan perempuan Indonesia menikah, hamil, melahirkan, meyusui, mengurus anak, mengurus suami dan hanya pendamping suami. Dengan itu, maka perempuan akan akan mendapatkan imbalan surga oleh Tuhan atas restu suami (laki-laki). Kira-kira logikanya, tidaklah sempurna seorang perempuan yang memilih single parent, tidak menikah,  lesbian, hanya berkarir dipublik dan menikah tetapi memutuskan tidak hamil dan melahirkan. Tindakan itu dianggap meyalahi "kodrat" perempuan. Maka balasannya neraka! Hanya perempuan yang memainkan peran gender dan menggunakan alat reproduksinya sesuai keiinginan negara partriarki dan heterosentris (kebenaran hanya heteroseksual) yang layak mendapatkan surga itu.  Begitulah cara kekuasaan mencengkram tubuh dan seksualitas perempuan sampai detik ini. Selamat Hari Perempuan Indonesia, 22 Desember 2011.  Teruslah berjuang perempuan Indonesia untuk melawan segala bentuk ketidakadilan!!! *Judul tulisan ini terinspirasi dari buku: Ibuisme Negara, kontruksi sosial keperempuan Orde Baru, karya Julia Suryakusuma, Komunitas Bambu, Agustus 2011. **Sekum Ourvoice dan Staff Advokasi Indonesia AIDS Coalition

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun