Pernah mendengar tentang ‘Manusia Perahu’? Pastinya pernah ya. Vietnam. Tulisan karya Jana Laiz ini menceritakan tentang korban Perang Vietnam yang berkecamuk sejak tahun 1955. Ketika Saigon, ibu kota Vietnam Selatan, jatuh ke tangan Vietnam Utara pada 30 April 1975, konon dua juta orang menjadi korban perang sejak saat itu. Pecahnya perang juga menyebabkan eksodus besar-besaran. Mereka yang eksodus berusaha mencari tempat perlindungan di wilayah negara lain. Mereka keluar dari Vietnam dengan menggunakan perahu. Itulah sebabnya disebut dengan manusia perahu, yang pergi beratus-ratus mil mencari suaka dan perlindungan ke negara-negara lain.
Tidak mudah perjalanan mereka mencari suaka dan perlindungan ke negara-negara lain. Dalam waktu yang lama, mereka terombang-ambing melewati Perairan Laut Cina Selatan yang terkenal ganas. Dari ratusan ribu orang yang eksodus, mungkin hanya sekitar 50 persen yang selamat mencapai daratan. Umumnya mereka mengarungi lautan dengan perahu nelayan, berukuran 20 x 3 meter yang disesaki puluhan orang. Itu sebabnya, tak sedikit perahu yang tenggelam di tengah perjalanan karena kelebihan beban atau faktor lain. Mereka yang selamat berada di perairan Malaysia, Hong Kong, Filipina, dan Indonesia. Para manusia perahu yang terdampar di Perairan Indonesia, umumnya berada di Kepulauan Natuna.
Weeping Under This Same Moon. Buku dengan tebal 331 halaman yang ditulis berdasarkan kisah nyata ini, menceritakan seorang gadis yang bernama Phoung Mei (19 Tahun) seorang seniman yang kehidupannya dikacaukan oleh Perang Vietnam. Orangtuanya mengirimnya terlebih dahulu pergi melarikan diri dalam eksodus ribuan ‘Manusia Perahu’. Mei diminta untuk menjaga kedua adiknya (adik-adiknya yang lain akan dikirim dengan pemberangkatan kapal yang berbeda) dalam perjalanan laut yang penuh rasa lapar, dahaga, ketidakpercayaan dan perampasan. Meninggalkan semua yang dicintai. Mencari tempat aman bagi keluarganya.
“Kuhabiskan waktu berjam-jam mencondongkan tubuh di pinggir perahu, memuntahkan sedikit sisa nasi dan kaldu yang ada di dalam perutku. Celana panjangku jadi terus bertambah besar dan aku terpaksa menahannya dengan sebuah peniti yang telah dengan cukup cerdas kubawa. Adik perempuanku menangis karena lapar, tapi tidak bisa makan lebih dari beberapa suap...”
“Makanannya buruk. Kadang-kadang nasinya bergerak dan kukira itu khayalanku. Aku tahu nasi tidak bisa bergerak. Memang tidak, tapi di dalam nasi itu bercampur belatung. Belatung itu bercampur sempurna dalam ukuran dan warna dengan putihnya nasi. Aku pura-pura tidak melihat, tapi mungkin belatung itulah penyebab perutku menderita.” (Weeping Under This Same Moon. Hal. 24-25).
Perahu Mei berhasil mencapai Perairan Malaysia. Kemudian Mei mengajukan surat-surat pada UNHCR (United Nation High Commission for Refugees), badan PBB yang mengurusi soal pengungsi agar bisa pergi ke New York, Amerika. Dokumen pun disetujui. Mei beserta adiknya tinggal di Bronx, New York dengan sponsor/bantuan dari IRC (International Rescue Committee) dan kemudian bertemu dengan Hannah (gadis berumur 17 tahun, berdarah Yahudi yang menderita gangguan emosi, tetapi hatinya begitu tergerak saat melihat kondisi buruk ‘Manusia Perahu’). Mengingatkannya pada rekaman peristiwa Holocaust –pembunuhan massal terhadap orang-orang Yahudi di Eropa, orang-orang Rumania dan Slovakia, kelompok-kelompok intelektual dan homoseksual, serta pembangkangan politik oleh Nazi- (hmmm…, ini menurut bukunya ya, bukan menurut saya, :)). Ia memutuskan menjadi relawan melalui IRC (International Rescue Committee)-UNHCR. Disinilah ia kembali menemukan diri dan hidupnya. Terjalinlah persahabatan di antara mereka. Persahabatan yang lahir dari sebuah kepedulian. Kepedulian yang lahir menembus batas wilayah negara, ras dan agama. Dan ketika kematangan itu lahir bukan dari bilangan umur, tapi dari rentetan slide peristiwa dalam kehidupan yang berani kita lalui.
Buku yang mendapat penghargaan Gold Medal Book of The Year 2008 dari Majalah Fore Word, Notable Book 2009 dari International Reading Assosisation dan Six-City Reads Selection 2010 dari Arts Reach Alliance ini cukup bermanfaat untuk di baca di sela-sela waktu luang anda, tapi mungkin lebih enak kalau baca aslinya, bukan terjemahan -kayak ngerti aja ya-. Well, selamat membaca sahabat!
Note.
Menurut artikel yang saya search di google Jejak Manusia Perahu di Pulau Galang . Eksodus Manusia Perahu ini menjadi perhatian Indonesia dan dunia internasional. Akhirnya UNHCR (United Nation High Commission for Refugees) dengan disetujui oleh pemerintah Indonesia mendirikan pusat penampungan sementara pengungsian di Pulang Galang untuk wilayah Asia Tenggara. Di sana dibangun berbagai fasilitas seperti rumah sakit, rumah-rumah penampungan pengungsi, rumah-rumah pekerja UNHCR, vihara, gereja, depo bahan bakar, jalan-jalan penghubung dan pelabuhan kecil untuk pasokan kebutuhan hidup. Pelabuhan ini disebut sebagai Pelabuhan Karyapura.
Di tahun 1996 UNHCR menyatakan tidak lagi memiliki dana untuk membiayai tempat pengungsian di Pulau Galang ini. Akhirnya para pengungsi harus dikembalikan atau berpindah ke negara lain yang mau menampungnya. Kurang lebih 5.000 pengungsi kembali ke Vietnam dan sisanya tersebar ke manca negara, di antaranya ke Australia dan Amerika. Kini Pulau Galang menjadi tempat wisata sejarah yang dikelola pihak Otorita Batam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H