New York City bukan keinginan yang muncul dari mimpi dan dari rumah mungilku. New York City adalah sebuah kerja keras, keprihatinan dan kejujuran. New York City adalah buah ‘kehangatan’ rumah kecil kami. Dan dari jalanan di New York City ini, aku berani menelusuri masa kecilku kembali.” (9 Summers 10 Autumns, Hal. 62) Kerja Keras – Keprihatinan – Kejujuran. Tiga prinsip hidup yang menjadi key words perjalanan sang penulis dalam 9 Summers 10 Autumns, dari kota Apel ke The Big Apple, dari Kaki Gunung Panderman – Bogor – Jakarta lalu New York City. Aroma ‘kontemplasi diri’ begitu kuat terasa, saat saya membuka lembar per lembar novel yang terinspirasi dari kisah nyata kehidupan sang penulis ini. Sebuah rekam jejak memori atas hidup dan kehidupan yang dideskripsikan secara sederhana. Anda tidak akan menyesal membacanya sahabat! Iwan Setyawan. Lelaki Sendiri (hmm…, silahkan menginterpretasikan sendiri -he-, red). Anak ke-3 dari 5 bersaudara. Sang Ayah, berprofesi sebagai sopir angkot, mengawali pekerjaannya sebagai kenek oplet hijau merek Dodge 1938 di terminal Batu dan harus mengakhiri bangku sekolahnya pada tahun ke-2 tingkat SMP. Pria yang sempat menempati posisi terakhir sebagai Director Internal Client Managemet di Nielsen Consumer Research di NYC ini, dibesarkan oleh sosok ibu yang dibalik kelembutannya menyimpan kekuatan dan ketegaran tiada tara, dengan berbekal pendidikan yang tidak bisa ditamatkan ketika SD. Sederhana, bijak dan sabar, itulah warna lain yang terlihat begitu membaca cerita Mas Iwan tentang Ibunya. Pria lulusan terbaik Fakultas MIPA IPB Jurusan Statistik dengan IPK 3,52 ini (naahh…, ini baru yang namanya kuliah ya, ketauan belajarnya :p *sambil ngelirik IPK yang cuma 3,03 -_-“, ketauan sering bolos sama tidur di kelas :p, red), menghabiskan masa kecilnya dengan ‘bermain’ serius bersama buku-buku pelajaran dan otaknya (really impressive ya!, red) serta bekerja, mulai dari mengecat boneka Mickey Mouse di sebuah industry kecil milik tetangganya hingga membantu sang tetangga berdagang di pasar sayur, begitupun dengan kedua kakak dan adiknya. Tidak mainan, boneka, mobil-mobilan, les bahasa inggris, sepeda atau apapun seperti layaknya anak yang menghabiskan masa kecilnya…, yang ada hanyalah bangun di pukul satu dini hari berteman dengan lampu redup lalu belajar… dan belajar lebih lama dari orang lain. Di dalam cerita ini, saya mengagumi perjuangan dan kegigihan Mba Isa yang jika boleh meminjam bahasanya Mas Iwan sebagai ‘Pembuka Jalan’, menginspirasi adik-adiknya. Anda penasaran? Please read this book! Sungguh rekomendasi bacaan yang berkualitas. Karakter penulis yang introvert secara implisit terlihat lewat penggunaan ‘teman imajinasi’ sebagai tempat curahan hati untuk bercerita. Yang menurut saya, sejatinya itu adalah diri si penulis sewaktu kecil (mungkin anda punya pendapat lain?, red). Awalnya agak sedikit datar, tapi finally cukup membawa saya larut dalam ‘dialog perasaan‘ atas sebuah perjalanan panjang kehidupan. Begitu saya membahasakan novel ini. Inspiring! . Buku ini adalah sebuah pentransferan energi. Dan tentunya memberi ‘energi baru’ bagi bangsa ini, dengan keputusan Mas Iwan Setyawan kembali ke Indonesia. Terima kasih kepada Sang Penulis, sebuah karya yang lahir dari hati. Anda mampu menginspirasi banyak insan di negeri ini…! “Impian haruslah menyala dengan apa pun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna…, meskipun itu retak-retak…” (9 Summers 10 Autumns, Hal. 21) Depok, 1st June 2011 May be I’m late to write this review, but for those of you who haven’t read it…, then read it! Jazakillah bi ahsanil jaza to eonni, who always put your books on my desk. Although I know.., you put them to get neatly palstic cover for all of your books from me, cause you are lazy about that and I’ll definitely do that… (baca : charge minjam buku gratissaan :p). Note. Eonni : Panggilan untuk Kakak Perempuan di Korea.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H