Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Presiden dan DPR Penghambat Pemberantasan Korupsi, Benarkah?

20 Januari 2014   21:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_307161" align="aligncenter" width="406" caption="Bendera Merah Putih dan Garuda Pancasila"][/caption]

Secara spesifik Kompasioner menyebut hukuman mati untuk koruptor sebanyak 141,000 kali dalam semua artikel tanpa memperhatikan tahun. Ini didapatkan jika kita gunakan Google Search dengan menggunakan kata kunci "hukuman mati koruptor kompasiana." Memang ini bukan indikasi bahwa semua kompasioner setuju terhadap vonis mati terhadap koruptor, tetapi paling tidak sebagian kompasioner memandang penting hukuman mati terhadap koruptor untuk memberikan efek pencegahan dan efek jera.

Tak hanya para Kompasioner, tetapi juga sebagian besar rakyat Indonesia telah menyadari bahwa korupsi adalah perbuatan jahat. Karena itu, korupsi harus dilenyapkan dari Bumi Pertiwi. Sayangnya, hingga kini Indonesia masih saja dianggap sebagai salah satu negara yang banyak korupsinya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparency International tahun 2011 masih rendah yaitu di angka 3,0 dari angka maksimum 10 (bebas korupsi).

Korupsi telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), yang berarti korupsi mengakibatkan kerusakan besar dan secara luas mempengaruhi kehidupan rakyat Indonesia. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa korupsi mengakibatkan penurunan daya saing nasional, mengganggu pertumbuhan ekonomi, menimbulkan biaya sosial yang besar, dan akhirnya menambah tingkat kemiskinan.

Antikorupsi dot org mengungkap uatu riset yang dilakukan oleh U4 dari Norwegia menyebut bahwa keberhasilan KPK dalam menangani kasus korupsi sangat impresif dengan tingkat keberhasilan (conviction rate) 100 persen dari sekian banyak kasus besar yang telah ditangani. Angka 100 persen ini berarti bahwa dalam semua kasus yang dibawa oleh KPK ke pengadilan tindak pidana korupsi dapat dibuktikan bersalah. Meski demikian, disadari bahwa pengembalian keuangan negara masih terlalu kecil dibanding tingkat kerusakan yang telah terjadi akibat korupsi. Jumlah uang pengganti dan denda yang dibebankan kepada para koruptor hanya sebesar jumlah yang dapat dibuktikan di pengadilan. Padahal penderitaan yang dialami oleh negara dan seluruh masyarakat sangat luar biasa dan jauh lebih besar dari sekadar jumlah uang pengganti dan denda yang diputuskan oleh pengadilan.

Ironinya kerusakan yang luar biasa akibat korupsi ini tidak membuat kita menyetujui hukuman mati kepada koruptor. Padahal jelas-jelas koruptor itu berbuat jahat yang sekaligus melanggar hak masyarakat untuk hidup layak yang merupakan salah satu hak asasi manusia. Jelas-jelas korupsi menyebabkan kemiskinan yang lebih parah, tetapi sebagian dari kita berpikir bodoh dan amat enggan memberikan hukuman yang setimpal dan maksimal berupa hukuman mati dengan alasan yang justru sama dengan perbuatan korupsi yang dilakukan, yaitu melanggar HAM.

Di samping keengganan dan kebodohan sebagian dari kita, undang-undang pemberantasan korupsi sendiri yaitu Undang Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 masih SETENGAH HATI, karena  hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dihubungkan dengan faktor lain yaitu faktor bencana alam, krisis ekonomi dan negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang. Undang-undang pemberantasan korupsi yang semacam ini menghambat KOMITMEN para penegak hukum dan para pengadil/hakim (lembaga yudikatif) untuk menjatuhkan hukuman mati kepada para pelaku.

Oleh karena itu, menjadi tugas dari pembuat undang-undang yaitu eksekutif (presiden) dan legislatif (dewan) untuk memutus hubungan hukuman mati dengan faktor-faktor tersebut di atas. Tentu saja kita tidak mengharap presiden dan anggota dewan yang sekarang, kita harus bisa mendesak presiden dan anggota dewan yang akan datang. Komitmen kedua lembaga itu yaitu eksekutif dan legislatif harus secara tegas memberikan batasan nilai yang dikorupsi sehingga hukuman mati bisa dijatuhkan, misal 50 juta rupiah yang dikorupsi, hukuman mati bisa dijatuhkan. Hukuman mati tidak dibatasi pada jenis pos anggaran yang dikorupsi. Semua pos anggaran yang dikorupsi dengan batasan itu bisa dijatuhi hukuman mati.

Kita rakyat Indonesia harus mendesak lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang akan datang untuk mengamandemen terhadap pasal dari UU tersebut di atas yang menghambat para penegak hukum dan para hakim untuk menjatuhkan vonis hukuman mati.

Jika, baik penegak hukum, lembaga yudikatif, eksekutif maupun legislatif mempunyai kesamaan komitmen pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, diharapkan, bahkan bisa dipastikan bahwa korupsi akan lenyap dari bumi pertiwi tercinta. Dan sejak saat itu, sudah saatnya kita lebih berkonsentrasi pada program pembangunan yang BENAR-BENAR mensejahterakan rakyat yang sudah lama hidup dalam penderitaan ini tanpa ada gangguan perbuatan korupsi lagi.

1390227769890680466
1390227769890680466

*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun