[caption caption="Trias Politica dalam Negara Demokrasi"][/caption]
Kesabaran yang luar biasa dari Presiden Jokowi atas hinaan pada dirinya bisa jadi disalahartikan sebagai "rasa iba" kepada rakyatnya atau bahkan "rasa takut" akan makin dipojokkan oleh lawan politiknya jika mengajukan kembali pasal penghinaan itu, sehingga ia pun bilang hinaan dan cacian adalah "makanan sehari-hari". Presiden tak terpengaruh pada isu ini.
Kompas online Selasa, 4 Agustus 2015 menulis "Jokowi: Saya Diejek, Dicemooh, Dicaci Sudah Makanan Sehari-hari."
"Kalau saya sejak Wali Kota, jadi Gubernur (DKI Jakarta), jadi Presiden itu yang namanya diejek, dicemooh, dicaci sudah makanan sehari-hari," ujar Jokowi di Pelabuhan Kali Adem, Jakarta Utara, Selasa (4/8/2015).
Jokowi mengaku dirinya bisa saja memidanakan para penghinanya itu. Namun, hal tersebut tidak dia lakukan.
"Ribuan (pelaku penghinaan) kalau kayak gitu, kalau saya mau (laporkan ke polisi). Tapi, sampai detik ini, hal tersebut kan tidak saya lakukan," kata Jokowi mengomentari soal pengajuan pasal penghinaan presiden dalam revisi UU KUHP yang dilakukan pemerintah.
-------oo-------
Mencermati diskursus akhir-akhir ini yang saling bersahutan antara pendukung pengajuan pasal penghinaan pada presiden dengan alasan menghina berbeda dengan mengkritisi dan penolak pasal penghinaan dengan alasan kebebasan berpendapat adalah mutlak dalam berdemokrasi, menciptakan argumentasi-argumentasi yang tak berkesudahan antara keduanya.
Dasar argumen yang menghidupkan pasal penghinaan adalah presiden siapapun itu adalah manusia, tak ada seorang pun di dunia ini yang bersedia dihina, dicaci-maki dan direndahkan martabatnya oleh pihak lain. Namun, sebagian lainnya dengan mengatasnamakan demokrasi memaknai bahwa penghinaan dan kritis adalah hal yang sama. Dasar argumen ini membenarkan penghinaan sebagai sikap kritis bahkan hiburan.
Namun, jika tetap dipaksakan untuk diajukan justru preseden tidak baik dalam hubungan antar lembaga tinggi negara, karena ini sama dengan mengadu domba antara "duo politica" yaitu pemerintah melawan mahkamah konstitusi: antara eksekutif di satu pihak dan yudikatif di pihak lainnya.