[caption id="attachment_360296" align="aligncenter" width="474" caption="Jebakan tikus buat Jokowi"][/caption]
Siapa yang tak kenal dengan Jokowi. Hampir semua orang kenal Jokowi. Tak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Salah satu buktinya sebut saja majalah Time yang mencalonkan Jokowi sebagai Person of the Year 2014. Majalah Time malah menyebut Jokowi sebagai tukang mebel dibanding posisi atau embel-embel lain. "Joko Widodo. The President of Indonesia, a former furniture salesman known as Jokowi, is the country's first leader to not come from elite," demikian Time menulis tentang Jokowi. Tak hanya majalah itu, tapi juga media online besar dunia lainnya seperti www. abc.net.au; www.aljazeera.com; www.usatoday.com; www.ft.com; www.cnn.com; www.macaudailytimes.mo; www.ca.reutars.com; dan lain-lain.
Jokowi lebih dikenal sebagai tukang mebel yang berhasil dibandingkan ia sebagai seorang politikus atau seorang mantan walikota bahkan sekalipun seorang gubernur. Walaupun bukan berarti di posisi lainnya Jokowi tidak berhasil.
Sebagai tukang mebel berarti Jokowi secara sosial adalah rakyat biasa yang berada di kalangan strata menengah. Ya, karena disebut sebagai tukang. Spektakuler, karena dari kalangan biasa menadi presiden. Ini diapresiasi oleh Time sehingga menjadikan Jokowi sebagai calon Person of the Year 2014, walaupun pada akhirnya hanya masuk sepuluh besar.
Sejak 20 Oktober Jokowi menjadi Presiden Indonesia. Ia ternyata masih tetap dengan sikap kesederhanaannya, sikap rendah hati, pekerja keras, jujur dan senang blusukan. Begitu menjadi presiden, tak perlu waktu lama ia sudah menunjuk para pembantunya yang kemudian ia sebut sebagai Kabinet Kerja. Tak basa-basi, tak ribut, tak ricuh Jokowi dan kabinetnya langsung menggebrak. Ia dan kabinetnya tampak serius bekerja keras. Tercatat beberapa gebrakannya yang cukup menjadi catatan positif adalah keberaniannya untuk memberikan hukuman maksimal dengan menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, blusukan dan e-blusukan yang dulunya sempat diragukan kini mendapatkan apresiasi karena bisa menghemat waktu dan biaya perjalanan, melibatkan KPK dalam memilih menteri yang menjadi pembantunya dan lain-lain.
Tak sekali sampai sekarang Presiden Jokowi diberitakan bertemu dengan Ketua Partai PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang dengan tulus memberi kesempatan kepada Jokowi kader PDI Perjuangan untuk menjadi presiden. Itu seolah menepis keraguan lama yang disebar oleh lawan politiknya bahwa Jokowi hanyalah boneka dari Megawati. Sebagai presiden sampai saat ini Jokowi menunjukkan bahwa ia serius dan fokus bekerja. Inin menepis bahwa ia adalah petugas partai.
Namun, entah disengaja atau tidak, direncanakan atau tidak tampaknya Jokowi mulai ada yang serius mengganggunya dengan iming-iming jabatan lain yaitu ketua umum partai politik yang mengusungnya: PDI Perjuangan. Adalah Lembaga survei Cyrus Network merilis survei tentang regenerasi di PDI Perjuangan.
Lembaga survei ini dengan 1.200 responden mengungkap hasil yang cukup mengejutkan, salah satunya Megawati dinilai bukan lagi figur favorit menjadi Ketum PDI Perjuangan, bahkan menempatkan Jokowi sebagai calon kuat ketum PDIP, disusul Megawati dan Puan Maharani. Sah saja Cyrus melakukan survey ini, tak ada yang melarang. Namun di tengah giatnya Jokowi melaksanakan tugasnya sebagai presiden, hasil survey tersebut bisa terbaca sebagai gangguan. Terlihat Cyrus mencoba menggiring opini bahwa Jokowi layak menjadi ketua umum partai politik. Cyrus mencoba memberikan iming-iming jabatan lain buat Jokowi. Memang Jokowi tak harus menjadi ketua umum suatu partai, tapi dengan mengungkap hasil survey itu sepertinya Cyrus hendak menjerumuskan Jokowi ke dalam rangkap jabatan, walaupun ada kalimat yang harus dicamkan oleh Jokowi "My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins".
Selama ini fakta mengungkap bahwa seseorang yang merangkap jabatan di pemerintahan sekaligus di partai politik membawa banyak kerugian. Kerugian selalu di sisi pemerintahan. Setidaknya ada tiga kerugian seperti yang disebut oleh Sintong Silaban, pertama dengan merangkap jabatan waktu, pikiran dan tenaganya terpecah untuk kepentingan negara dan kepentingan partai politiknya. Kinerjanya di pemerintahan untuk kepentingan negara dan masyarakat tidak optimal.
Kedua, mekanisme organisasi partai cenderung tidak dinamis dan tidak sehat, karena pengambilan keputusan partai akan sangat tergantung kepada si pejabat yang menduduki posisi penting di partai. Ketiga, si pejabat yang masih pimpinan partai akan “didorong” untuk terlibat korupsi secara langsung maupun tidak langsung (demi kebutuhan uang partai dan orang-orang partai).