Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Cinta di Singapura

13 Maret 2014   04:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada Cinta Di Singapura

[caption id="" align="aligncenter" width="629" caption="Ada Cinta Di Singapura"][/caption]

"Saya perkenalkan asisten baru saya untuk membantu Anda semua lebih memahami mata kuliah saya. Namanya Mas Wahyu," demikan aku diperkenalkan oleh Pak Ali, dosen mata kuliah Ekologi Manusia siang itu kepada mahasiswanya di kelas di awal semester baru tingkat akhir. Disitulah awal perkenalanku dengan Dinda. Mahasiswi berjilbab asli kota kembang yang mengambil mata kuliah Ekologi Manusia di semester itu. Gadis cantik, cerdas, dan ceria.

Setelah selesai kuliah aku bergegas segera meninggalkan kelas. Tetapi langkahku terhalang, telingaku mendengar seorang mahasiswi bersuara lembut berseru dan tiba-tiba sudah berdiri di depanku.

"Tunggu, Pak Mas. Perkenalkan. Saya Dinda dari Bandung. Pak Mas Wahyu darimana?"

Saya tak urung menahan senyum dengan panggilannya itu. Terasa lucu. "Iya Dinda, saya berasal dari kota Jember, Jawa Timur. Panggil nama saya saja. Tanpa embel-embel Pak. Jadi Mas Wahyu. Memang nama saya itu. Atau kalau Dinda suka, panggil nama depan saya: Mas." "Baik Mas. Sampai jumpa di kuliah minggu depan, ya Mas."

*******

Bergegas aku menuju check-in counter di terminal internasional di Bandara Cengkareng. Penerbangan Rabu sore selalu kupilih, sehingga sesampainya di Singapura aku masih bisa istirahat dan keesokan harinya aku bisa menemui dokter yang merawatku, Dr Goh dalam keadaan segar. Aku memang rutin ke Singapura ke National Neuroscience Institute untuk pemerikasaan otakku. Aku divonis tumor otak setahun yang lalu. Dokter Goh memang tak memberikan vonis apa-apa terhadap penyakitku ini, tetapi cara dia merawatku aku tahu bahwa harapan hidup orang berpenyakit sepertiku ini tidak akan lama. Aku hanya memberitahu adik-adikku, selain itu tak ada yang tahu tentang penyakitku ini.

Karena itu, setiap Rabu seusai kelas Pak Ali, aku selalu bergegas untuk segera ke terminal bis di sekitar Bogor Botanical Square untuk ke Bandara Cengkareng. Di setiap hari itu pula Dinda, selalu mencegatku dan mengajak bicara sepatah dua patah kata. Keadaan sakitku yang memberikan harapan hidup yang tak panjang itulah aku selalu menjaga jarak pada setiap mahasiswi yang mendekati diriku, termasuk Dinda. Tapi sikap tak kenal lelah Dinda itu yang membuat aku berpikir ulang akan keputusanku. Aku membiarkan diriku larut dalam keceriaan Dinda, asal tidak hari Rabu dan Kamis hari untuk otakku yang harus selalu dicek oleh Dr. Goh.

*******

Di Bandara Internasional Changi Singapura sesaat sampai di antrian di immigration counter, aku nyalakan blackberryku. Ada pesan dari Pak Ali yang memberitahuku bahwa kunci kamarku ketinggalan di meja. Pak Ali juga memberitahuku bahwa kunci itu diberikannya ke Dinda.

Sudah tiga bulan aku menjadi asisten Ekologi Manusia, sejak itu pula Dinda selalu hadir dalam hidupku yang penuh kekhawatiran dan teka-teki. Dinda termasuk salah satu mahasiswa dari 50 mahasiswa yang aktif. Beberapa kuis yang aku berikan pada saat praktikum, Dinda termasuk yang mendapat nilai tertinggi. Aku senang, artinya kehadiranku sebagai asisten dosen Pak Ali tidak sia-sia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun