Iya, tepatnya di Desa Medang, Kelurahan Pagedangan, Tangerang, Banten. Saya dua kali diundang datang ke tempat itu. Undangan pertama saat pabrik pengolah sampah itu di-launching 6 Oktober 2016. Masa undangan yang kedua, saya dijelaskan lebih detail tentang teknologi pengolah sampahnya yaitu teknologi hidrotermal.
Teknologi hidrotermal yang dipakai untuk mengolah sampah warga di kawasan elit Summarecon tersebut ditemukan oleh orang Jepang. Pemegang patennya adalah Tadashi Nakamura, Kentaro Nagasawa dan Mamuru Kimura. Paten sudah diregistrasi di Jepang, Tiongkok dan dalam proses di Indonesia. Semenjak sepuluh tahun teknologi itu ditemukan sampai sekarang tak kurang dari 30 (tiga puluh) tempat yang mengaplikasikan teknologi tersebut di seluruh dunia untuk berbagai keperluan pengolahan berbagai jenis sampah.
Nakamura menjelaskan teknologi hidrotermal di pabrik pengolahan sampah di Desa Medang yang menerapkan teknologi hidrotermal/Dokumen Pribadi
Tak hanya organisasi Pemerintah Jepang yaitu
JETRO (
Japan External Trade Organization), bahkan badan dunia
PBB yang membidangi pengembangan industri yaitu
UNIDO (
United Nation of Industrial Development Organization) mengakui teknologi hidrotermal ini sebagai teknologi yang relatif murah, hemat waktu dan ramah lingkungan. Kedua badan dunia yang kondang itu merekomendasikan pengaplikasian teknologi tersebut sebagai teknologi pengolah sampah di negara-negara yang bermasalah dengan sampah. Keduanya memasukkan teknologi hidrotermal ini di
website mereka. Teknologi itu telah diterapkan dan diujicobakan di Jepang, Tiongkok, dan Arab Saudi untuk berbagai macam kebutuhan dalam konteks
Reduce-Reuse-Recycle yang ramah lingkungan.
Bagian depan pabrik pengolah sampah dikawasan elit Summarecon di Desa Medang, Pagedangan, Tangerang/Dokumen Pribadi
“Pabrik pengolah sampah itu menggunakan teknologi kami yang tidak menghasilkan residu berupa
bottom ash dan
fly ash dalam prosesnya,” demikian jelas Tadashi Nakamura salah satu pemilik paten teknologi itu. “Hanya sampah kaca, batu dan logam yang tak bisa diproses dengan teknologi hidrotermal kami. Jadi, input sampah harus dipisahkan saat di
conveyor penghantar terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam
reactor system,” lanjutnya. Di dalam
reactor system sampah itu diproses hanya perlu waktu sekitar 30 (tiga puluh) menit. Ini yang membedakan teknologi kami dengan teknologi yang serupa yang memerlukan waktu kurang lebih empat jam pemrosesan dalam
reactor system.
“Tak seperti teknologi incinerator, aplikasi teknologi hidrotermal ini tidak menghasilkan dioxin, senyawa polutan berbau yang berbahaya yang dihasilkan jika sampah dibakar bercampur dengan plastik. Disamping itu, air limbah tak terjadi, bahkan kami menjamin bahwa air setelah proses akan sesuai spesifikasi lingkungan,” Nakamura menerangkan.
Teknologi hidrotermal ini memproses sampah dengan memanfaatkan suhu dan tekanan tinggi, sehingga senyawa sampah terurai menjadi unsur-unsur yang lebih kecil berbentuk lumpur material biomass, karena itu tidak berbau busuk. Malah cenderung berbau seperti aroma kopi. Kemudian lumpur material biomass itu dikeringkan di greenhouse atau bisa juga menggunakan dryer. Lumpur material biomass yang kering bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar atau bisa dicetak sesuai kebutuhan atau selera pasar. Bahan bakar material biomass itu seperti batu bara (coal-alike) dan mempunyai kalori berkisar 3.500 – 4.500 Kcal/Kg.
Greenhouse tampak di samping bangunan utamapabrik/Foto milik Tadashi Nakamura
Tak hanya bisa menjadi bahan bakar, sampah yang diolah dengan aplikasi teknologi tersebut bisa dibuat menjadi pupuk atau bahkan makanan ternak. Sebagai bahan bakar, sisa pembakaran atau abu bisa diproses menjadi
paving atau
corn block. Jadi, tak hanya
friendly environment tapi sekaligus
zero waste. Jika
material biomass itu digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik, Perusahaan Listrik Negara (PLN) memberikan harga yang relatif lebih tinggi dibanding menggunakan bahan bakar jenis lain.
Foto bersama setelah keliling pabrik/Dokumen Pribadi
Rendemen. Sebagai bahan bakar,
material biomass/output yang dihasilkan adalah sekitar 35% dari keseluruhan total input sampah yang diproses. Dari sekitar 35% itu, sekitar 70%nya sebagai bahan bakar
boiler lainnya dan sisanya sebagai bahan bakar untuk menggerakkan pengolah sampah itu sendiri.
Lebih Murah. Fabrikasi untuk komponen pengolah sampah dengan teknologi hidrotermal bisa dilakukan di Indonesia dengan bahan dan alat yang ada di Indonesia, tak perlu membuang banyak devisa untuk impor bahan dan alat. Tak perlu juga menggunakan tenaga teknis dari luar negeri. Jadi, teknologi hidrotermal memang murah.
Life Time. Jika pemeliharaan dilakukan dengan baik,benar dan teratur bisa lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Lihat Inovasi Selengkapnya