Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Awas, Ada Kompasioner Buronan Menjadi Teman Anda. Ini Ciri-cirinya.

6 Januari 2014   22:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Awas Kompasioner Buronan Menjadi Teman Anda

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Awas Kompasioner Buronan Menjadi Teman Anda"][/caption] "Kamu buronan ya, Mas?" Itu pertanyaan dari si dia yang saya baca di "inbox" di akun saya di Kompasiana, blog keroyokan suatu hari. Saya tak sanggup menahan gelak tawa saat membaca "message" itu. Gelak tawa saya mengagetkan orang-orang yang menikmati kopi panas yang duduk di sekitar saya di Old Town White Coffe di Ampang Point Mall siang hari itu. Saya segera menyadari kesalahan itu dan menghentikannya. Seorang laki-laki tua yang duduk di meja lain di depan saya menatap saya tajam penuh tanya di matanya. Dia terkejut mendengar gelak tawa spontan dari mulut saya. Saya menganggukkan kepala memberikan tanda maaf. Saya pura-pura kembali sibuk sambil menatap tablet saya, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tapi tetap menahan senyum, masih tak bisa menahan rasa geli di hati. Mengingat pesan dari si dia itu. Saya akui dia cukup ceplas-ceplos dalam beberapa kali "inboxed chat" yang si dia memang sekali-sekali bertanya kepada saya. Saya tahu ini menyelidik. Saya paham bahasa-bahasa seperti ini. Tapi, tentu saja saya tidak bisa langsung "to the point." Tidak asyik rasanya. Biar semakin menambah penasaran dia punya hati. Saya tersenyum lagi. Hobi saya memang traveling kemana saja, sesuka hati. Kadang lama di suatu negara, kadang hanya "transit saja." Mengikut irama "kedamaian" hati. Dimana saya senang, disitulah saya tinggal. Saya tidak bisa berdiam di suatu negara dalam waktu lama. Tapi, beberapa tahun belakangan ini kebiasaan itu saya kurangi. Sejak saya merasa capek. Saya coba berbisnis di negara tetangga. Dengan partner bisnis baru. Saya ceritakan apa adanya kepada partner saya, tentang kebiasaan saya itu. Ya tentu saja mereka keberatan. Saya kali ini mengalah. Saya hampir hentikan kebiasaan itu. Saya hanya "terbang" untuk memperpanjang visa saja. Untungnya di negara-negara Asia Tenggara saya tak perlu mengurus ke "destination country" via kedubes untuk dapat "sticker visa," jadi "arrival chop" dan "departure chop" di "immigration gate" cukup. Yang penting tidak "u-turn" lah. Beberapa hari "stay." Petugas immigrasi pasti memberikan "30 days full stay." Saya suka sekali tidur di bandara, tempat paling aman di dunia menurut saya. Tak akan ada penumpang lain yang iseng ambil tas atau "luggage" milik orang lain. Tentu mereka takut. Mereka sudah distigmatisasi di kepala dengan "drug warning" atau kejadian peledakan. Jadi mereka tak akan berani ambil tas atau "luggage" walau tergeletak seperti tak bertuan. Siapa tahu itu "drug" atau bahkan "bomb." Ini yang ditanamkan. Jadi kadang saya asal taruh saja selama tinggal di bandara. Buat saya berpetualang seperti ini mengasyikkan. Gimana gitu. Komitmen saya satu hari satu artikel tayang di Kompasiana menjadikan saya harus mencari tempat yang pas untuk tablet saya bisa menangkap "free-wifi," dan "plug-in" untuk "charging." Di bandara dijamin tak akan ada "blank spot." Di samping itu di bandara adalah tempat yang bisa menjaga "kesucian" saya dari godaan "one night stand." Heu...heu..heu... Jadi bandara adalah tempat yang paling aman, paling steril dan makanan serta minuman tersedia 24 jam. Saya selalu memberikan keterangan di bawah tulisan saya atau bahkan di status info di profile saya posisi dimana saya "ngendon." Ini juga sekaligus memberi tahu partner bisnis saya. Kadang di negara sini, kadang di negara sana. Agar tidak mahal kena "roaming" saat di telepon dan tidak mau diganggu keasyikkan saya: "All of calling communication must be offline. E-mail and status only." Saya yakin sifat nomaden inilah yang membuat si dia mengirimkan pertanyaan seperti itu. Saya tidak akan menyalahkan dia. Karena memang kebiasaan hidup saya ini bisa di"sesatpikir"kan sebagai buronan. Siapa sih yang mau berteman dengan penjahat, "hatta" di dunia maya sekalipun. Boleh dunk menjaga diri dari teman yang kita tidak tahu. Sehingga saya pun menerima pertanyaan "wh" dari si dia. "Whatever." Si dia memang berkali-kali bertanya, saya memang tak pernah menjawabnya dengan jelas apapun pertanyaannya. Tapi saya juga tidak akan bohong. Saya pakai ilmu "tidak jelas, tapi tidak pernah bohong." Suatu ilmu yang saya pelajari dalam kitab-kitab lama yang dulu sering saya baca. Hari ini siang tadi saya memutuskan membuka identitas saya ke si dia. Saya berikan informasi-informasi valid tentang saya, yang dia bisa langsung verifikasi. Dari sentuhan-sentuhan cara berkomunikasi, si dia tampak senang bisa mengetahui siapa sebenarnya temannya ini. Jadi sekarang si dia pasti tahu bahwa saya bukanlah seperti anggapan "sesat pikir" dia: seorang buronan. Mudah-mudahan si dia bisa tak ragu-ragu lagi menjadikan saya sebagai temannya di dunia maya di blog Kompasiana. Siapa tahu berlanjut di dunia nyata. Ehem..ehem..;) *) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun