Halaman paspor saya habis. Itu salah satu alasan utama saya harus kembali ke negeri yang "gemah SUSAH loh KORUPSI," Indonesia tercinta. Halaman 46-47 sudah penuh. Tersisa  untuk sepasang stempel lagi. Jadi hanya bisa buat satu negara saja. [caption id="attachment_305538" align="aligncenter" width="300" caption="Halaman Paspor Penuh"][/caption] Sebenarnya saya sudah berupaya mengajukan paspor baru di setiap negara saya kunjungi, tetapi pengajuan saya selalu ditolak oleh KBRI dimana saja. Syarat surat keterangan tempat tinggal di negara saya kunjungi tak dapat saya penuhi. Lha, khan surat itu harus dikeluarkan oleh Lurah atau Kepala Desa dan ditandatangani olehnya. Di negara yang saya kunjungi ternyata tak ada Lurah dan Kepala Desa. "Mas, untuk mendapatkan paspor baru di KBRI. Harus ada surat keterangan tempat tinggal," begitu jelas gadis berkerudung cokelat di counter nomer 45 di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. "Lha disini khan tak ada Pak Lurah. Bagaimana saya bisa dapat surat keterangan tempat tinggal, Mbak?" alasan saya dengan mimik muka serius jenaka. " Si Mbak kerudung coklat itu senyum saja mendengar alasan jenaka saya. "Jadi, saya harus pulang nich?" saya bertanya lagi. "Iya. Harus di Indonesia untuk dapat paspor baru." jawab si Mbaknya kali ini dengan serius. "Tak ada jalan lainkah, Mbak?" saya mencoba memancing alternatif lain. Si Mbak itu menggeleng sambil berkata, "No other way..!" Walhasil saya juga gagal di Malaysia, setelah dua bulan sebelumnya saya gagal meminta paspor baru di KBRI Phnom Penh, Kamboja. Di Phnom Penh petugas di KBRI malahan menyarankan jalan susah berliku buat saya untuk mendapatkan surat keterangan tempat tinggal. "Menikah dengan wanita setempat. Itu jalan termudah, Bos," sambil tertawa. Bujukbuneng...!! "Satu saja, Bos. Cukup..," demikian saran si petugas itu. "Satu di sana, satu di sini. Satu di situ. Satu dimana-mana," lanjut dia sambil tertawa lepas. Saya tersenyum kecut saja sambil pergi. Lha kalau begitu caranya saya khan bisa menjadi Eyang Subur donk, batin saya. "Pagi Pak," saya mencoba ramah kepada petugas imigrasi di Terminal 3 Soekarno Hatta di Provinsi Banten sambil mengulurkan paspor saya meja petugas itu. Jam menunjukkan 1.50pagi waktu Indonesia bagian barat 11 Januari 2014. Kaki saya akhirnya menapak di bumi Indonesia kembali RI 703 membawa saya pulang setelah berkelana setahun terbang tak tentu rimba. Burung terbang jauh, akhirnya kembali ke sarangnya juga. "Selamat Pagi," balas petugas itu datar dengan ekspresi muka yang juga datar. Pesek hidungnya, maksud saya. "Kapan meninggalkan Indonesia, Pak?" tanya petugas itu. Terlihat dia membolak-balik halaman paspor saya mencari stempel "departure" saya terakhir dari imigrasi bandara di Indonesia. "Maaf Pak, saya lupa. Sudah lama sekali. Setahunan," saya menjawab sambil senyum mencoba ramah. "Sudah penuh paspornya nich?" petugas itu entah bertanya atau berkomentar, saya mengiyakan saja sambil menoleh ke belakang seakan mengingatkan petugas itu agar bekerja cepat karena antrian di belakang saya panjang. Sepertinya petugas itu mengerti. "Dug..!" Saya dengar bunyi stempel "arrival" di paspor saya akhirnya. Saya melewati petugas imigrasi. Plong. Hati terasa bebas. Saya bukan buronan, khan? Batin saya yang saya tujukan kepada teman saya yang saya panggil "si dia." Dengan melewati petugas imigrasi tanpa ada gangguan, berarti saya bukan buronan atau DPO. Jika buronan atau DPO pasti nama saya ada pada "black list," dan petugas tidak akan membiarkan saya berlalu di depan hidungnya. Saya pasti ditangkap. "Hoooiiii, saya bukan buronan." Seru saya dalam hati. Heu..heu..heu.. Terkesiap saya. Saya tak mendapatkan bagasi saya. Sambil celingukan ke kanan dan ke kiri, saya mencari-cari koper saya. Hadeh. Sekali lagi saya mengelilingi "conveyor belt." Tak ada satupun bagasi tersisa. Petugas. Mana Petugas? demikian batin saya berteriak. Yang saya cari tidak ada di sekitar itu. Saya menghentikan entah siapa, petugas atau bukan. Saya bertanya penuh rasa khawatir, "Koper saya mana? Tidak saya temukan di "belt." "Ke petugas "Lost and Found" saja, Pak," jawab orang itu sambil menunjukkan arah jalan menuju counter "Lost and Found." Saya pun bergegas menuju counter itu. Saya temui petugas di sana. Saya jelaskan. Dia meminta paspor saya, "boarding pass," dan stiker nomor bagasi. Dia membuat laporan. Dan menyerahkan bukti kehilangan barang. "Gara-gara ini saya tidak bisa langsung terbang ke Malang," terang saya sedikit ketus. "Baru kali ini dalam sejarah terbang saya, bagasi saya "lost" oleh maskapai sendiri malahan." Saya tumpahkan kekecewaan saya pada petugas itu. Dia diam saja. "Pokoknya saya tidak mau keluar dari bandara ini tanpa koper saya," kata saya tegas. "Saya ingin bicara dengan otoritas bandara ini. Saya minta disediakan untuk saya agar saya bisa menunggu koper saya dari LCCT." Ya, setelah dilacak, karena kecerobohan petugas di sana, "tag" koper saya lepas, dan ditumpuk di "Lost and Found" di LCCT Malaysia. Dan koper saya akan diterbangkan 12 Januari 2014 jam 00.10am waktu Malaysia. Sampai di Cengkareng, Banten jam 1.20pagi waktu Indonesia bagian barat. "Ya dech Pak. Bapak boleh tidur di kantor saya," akhirnya manager "lost and found" itu membolehkan saya tidur di kantornya setelah berbalas argumen. Heu..heu..heu.. Di bandara biasanya saya tidur di bangku-bangku tunggu. Dingin sekali, sebab air conditioner tidak mati. Surau (Musholla) di LCCT Sepang ataupun di KLIA Kuala Lumpur selalu di kunci jika malam hari dan dibuka kembali menjelang waktu adzan shubuh. Jadi tempat yang tersedia hanya di bangku-bangku kosong atau kafe-kafe yang buka 24 jam. Kafe yang buka 24 jam tidak melarang pelanggannya tidur di kursi-kursi di kafe itu. Petugas dan manager "lost and found" itu menata tempat agar saya bisa tidur di kantornya. Di Sofa. Lumayan, terhindar dari dingin air condioner. Manager itu memberi tahu toilet, kamar mandi, dan musholla. "Tolong diberi tanda bahwa ada saya tidur disini ya, Pak," saya berkata kepada Manager itu. "Seperti yang Anda bilang, ada petugas shift pagi datang, agar mereka tidak berteriak ketika mereka tahu ada orang tidur di sofa ini. "Saya akan BBM mereka, Pak. Agar tidak mengganggu Pak Wahyu," demikian jelas si manager itu. Jam telah menunjukkan angka 3.30pagi. Setelah itu sepi. Saya membatin, sungguh tindakan yang luar biasa berani dari si manager itu membiarkan seseorang tidur di kantornya. Betul memang, saya adalah penumpang pesawat mereka yang kehilangan koper saya. Tapi, mengambil keputusan membiarkan seseorang tinggal di dalam kantornya adalah tindakan beresiko. Mungkin yang dia lakukann adalah salah satu bentuk tanggung jawabnya karena perusahaan dia lalai menyebabkan koper saya tertinggal.  Untung saja otak saya ini bukan otak kriminal. Karena sekilas saya memandang almari kaca ada brankas uang. Apalagi dia memberi tahu anak buahnya agar tidak mengganggu saya. Ini seperti cek kosong. Ada jarak waktu 2 jam sampai anak buahnya shift pagi datang jam 6pagi, waktu yang amat cukup untuk menggerayangi dan melihat-lihat isi kantor itu. Ah, saya tak tertarik, saya ingin tidur saja. seperti biasa di bandara. Hari ini pagi tadi saya sudah menerima kembali koper saya. Alhamdulillah, saya senang sekali. Saya periksa semua yang ada dalam koper saya, pakaian, sepatu, dokumen dan lain-lain lengkap. Dan saya juga baru menyadari bahwa koper tersebut tidak saya kunci. Yah, memang timbulnya tindak kejahatan itu jika ada peluang dan niat berbarengan, maka tindak kejahatan itu bisa terjadi. Jika peluang ada, tapi niat tidak ada. Kejahatan tidak akan pernah terjadi. Demikian juga, niat berbuat jahat ada, tapi peluang tidak ada. Juga tidak akan terjadi apa-apa. [caption id="attachment_305540" align="aligncenter" width="480" caption="SMS dari Manager Lost and Found"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H