Kemarin malam saya bertemu dengan pak Djoko Pekik salah satu pelukis senior Indonesia yang masih produktif di usianya yang tak lagi muda. Bahkan produktifitasnya kadang mengalahkan pelukis-pelukis muda yang malas. Pak Pekik termasuk seniman besar saat ini. Dia beberapa kali membuat karya-karya yang menyentak secara ide meskipun tidak ada kebaruan bentuk visualnya.
[caption caption="Pak Djoko Pekik"][/caption]
Saya akui memang karya pak Pekik secara visual apik dan menarik. Tetapi yang tak kalah menariknya adalah bentuk visual pak Djoko Pekik sendiri. Kalau berada di dekat pak Pekik dan saya membawa kamera, saya selalu tak bisa tidak memencet shutter button kamera saya.
Saya bertemu pak Pekik dalam berbagai peristiwa pembukaan pameran atau diskusi seni. Selalu saya meng-candid beliau dan mendapatkan foto yang menarik. Saya pernah juga melukis beliau dn menghadiahkan lukisan tersebut pada saat beliau membuka pameran lukisan kelompok SEPI pada tahun 2000. Pak Pekik suka lukisan itu dan memajangnya di ruang makannya sampai sekarang.
[caption caption="Pak Pekik dalam Lukisan"]
Sesudah bertemu dengan pak Pekik kemarin malam dalam penutupan pameran tunggal Samuel Indratma di Bentara Budaya Yogyakarta. Saya berkesimpulan bahwa secara visual pak Pekik menjadi artistik adalah karena jenggotnya.Â
[caption caption="Jenggot dan Nasib"]
Sejauh ingatan saya memang ada jenggot-jenggot yang secara visual artistik. Jenggot artistik pertama yang saya ingat adalah jenggot seorang penjual arum manis atau cotton candy yang setiap hari berkeliling dari kampung ke kampung dengan memikul kaleng berisi arum manis pada akhir tahun 1970an. Dia membunyikan kaleng kecil yang diberi tangkai bambu dan diisi kerikil kecil. Bunyi 'othok-othok' itulah yang menarik perhatian anak-anak yang menjadi calon pembeli.
[caption caption="Samuel Indratma Kadang Berjenggot Kadang Tidak"]
Secara visual, jenggot pak Pekik dan penjual arum manis sama artistiknya. Tapi mungkin secara finansial nasib mereka berbeda. Lukisan pak Pekik ada yang berharga satu milyar sedangkan sebungkus arum manis harganya hanya Rp. 10,- pada tahun 1970an. Namun demikian ada hal yang serupa dari keduanya sejauh pengamatan saya. Keduanya bangga akan jenggotnya dan mencintai profesinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H