[caption id="attachment_227298" align="aligncenter" width="614" caption="Bison dan Rusa, maskot Colorado sebagai ganti foto kopdar yang kelupaan karena asyik ngobrol (dok. Ouda)"][/caption] Kebetulan. Apakah anda percaya kebetulan? Saya sendiri kadang bertanya-tanya, adakah yang namanya kebetulan. Sebagai orang yang lahir di desa dan baru pada umur 14 tahun mengenal listrik, saya sering percaya pada pemikiran orang-orang tua dulu di desa saya. Dalam bahasa Jawa ada kebiasaan yang diberi nama ‘kerata basa’ yang artinya kurang lebih memaknai sebuah kata. Kadang pemaknaannya serius tapi kadang juga maksa banget. “Kebetulan” dalam bahasa Jawa adalah “Ndelalah” atau “ndilalah”. Kedua kata yang berarti kebetulan ini sering dimaknai sebagai “ngandel ing Allah” yang artinya percaya kepada Tuhan, atau “Adiling Allah” yang artinya keadilan Tuhan. Pemaknaan kata ini saya ungkapkan sebagai pembuka karena berbagai kebetulan yang sering saya alami dalam hidup saya. Salah satu kebetulan ini saya alami sehubungan dengan Kompasiana sehingga saya ceritakan di sini. Secara kebetulan saya bergabung dengan Kompasiana pada bulan Desember tahun 2009 dan secara kebetulan pula saya jadi berteman dengan orang-orang keren di Kompasiana. Walaupun saya sudah jarang menulis tapi pertemanan ini masih berlangsung. Tahun 2010 saya paling aktif menulis di Kompasiana. Satu bulan bisa ada 20an tulisan waktu itu. Kalau tidak salah pada tahun itu pula saya berteman dengan Pak Pautan. Sama seperti saya juga dia sekarang sudah jarang menulis di Kompasiana. Dulu dia suka menulis tentang politik baik Amerika maupun Indonesia. Ulasannya selalu tajam dan mantap karena didukung sumber-sumber yang terpercaya. [caption id="attachment_227300" align="aligncenter" width="439" caption="Patung Elrey B Jeppesen salah satu pionir penerbangan di bandara Denver (dok. Ouda)"]
[/caption] Kopdar ini pun sebenarnya adalah sebuah kebetulan. Ketika saya diajak teman keluyuran di Grand Canyon (seperti saya
ceritakan di sini) saya harus pulang ke Chicago sendiri karena teman seperjalanan saya presentasi dalam sebuah konferensi di Phoenix, Arizona. Tiket pesawat murah yang masih ada harus berhenti di Denver selama 5 jam. Saya piker nggak masalah keluyuran di bandara Denver selama 5 jam asalkan saya bawa kamera saya kira saya tidak akan bosan. Lalu saya teringat bahwa ada Kompasianer di Denver, Colorado yaitu pak Pautan. Lalu saya hubungi dia melalui pesan di jejaring social dan dia membalas pesan saya. Kami janjian bertemu di bandara Denver. Sesudah keluyuran sehari di Phoenix saya berangkat ke Denver. Di bandara phoenix saya hampir tertinggal pesawat. Saya sudah menunggu di gate yang benar tapi tiba-tiba rasa lapar mengusik saya. Saya beranjak untuk mengisi perut. Ketika saya sedang menikmati burger dan kentang goreng inilah ada pengumuman kalau gate dipindah. Untungnya saya mendengar ketika diumumkan ‘last call’. Saya lari dan menjadi orang terakhir yang masuk pesawat. [caption id="attachment_227304" align="aligncenter" width="614" caption="Warung yang hampir membuat saya ketinggalan pesawat (dok. Ouda)"]
[/caption] Sesampai di Denver pada jam 12 malam lebih sedikit pak Pautan sudah di bandara. Meskipun belum pernah ketemu karena dulu kami sering saling sapa dan guyonan secara online kami langsung akrab dan ngobrol tentang semua hal tanpa ada jeda. Karena sudah lewat tengah malam kebanyakan tempat sudah tutup maka saya diajak keliling kota sebentar sebelum akhirnya ngopi bersama di rumah pak Pautan. Saya diajak menengok salah tempat yang sempat menggemparkan beberapa waktu yang lalu, yaitu tempat penembakan di gedung bioskop yang menewaskan banyak orang. Aurora mall ini menjadi kelihatan angker. Sebenarnya saya ingin memotret tapi kelihatannya terlalu angker, maka kami lewat saja. Obrolan yang seru selama di mobil berlanjut sampai di rumah. Sesampai di rumah pak Pautan menyeduh kopi Indonesia yang sedap. Tak terasa secangkir ukuran besar habis dan obrolan terus mengalir mulai dari masalah ekonomi, politik, sampai tentang hantu dan tak tertinggal juga cerita-cerita lucu tentang Indonesia maupun Amerika. Cerita hantu memang kadang terkait erat dengan cerita politik dan pergantian kekuasaan di Indonesia. Sejarah Indonesia yang kadang dihindari oleh penulis buku sejarah untuk sekolah tak jarang berdarah-darah dan disertai pembantaian. Bisa jadi hantu-hantu yang sering bergentayangan sekarang ini adalah korban-korban pembantaian di masa lalu. Tak terasa cangkir kopi besar kami segera tandas. Isi ulang kedua cangkir besar dan cerita tetap mengalis tak terputus. Saya sempat bertemu dengan istri pak Pautan tetapi tidak bertemu dengan Nauli yang cantik. Dia pasti sedang tertidur nyenyak. Saya hanya melihat beberapa gambar hasil coretan Nauli yang terpampang di dinding serta beberapa mainan yang terserak di lantai. [caption id="attachment_227306" align="aligncenter" width="614" caption="Orang Jawa mungkin tidak suka kuliah di sini karena singkatannya ASU (dok. Ouda)"]
[/caption] Tak terasa karena derasnya aliran kopi dan cerita kami, kami lupa waktu. Ketika saya lirik jam saya waktu sudah menunjukkan jam 5 pagi kurang sedikit. Kamipun kaget dan segera masuk mobil dan melaju ke bandara lagi. Area sekitar bandara sedang diperbaiki jadi kami tak punya banyak waktu karena jalan sedikit memutar. Sesampai di bandara saya langsung lari masuk lalu antri. Kali ini bukan orang terakhir tetapi masih ada 5 orang lain di belakang saya. Saking serunya ngobrol kami tak sempat foto bersama meskipun saya menenteng kamera kemana-mana. Gambar di ingatan kami lebih bermakna dalam pertemuan yang singkat namun penuh obrolan yang seru ini. Saya kira inilah salah satu manfaat ber-Kompasiana. Akan ada kebetulan-kebetulan serta kejutan-kejutan yang mengasyikan. Terima kasih kopi dan obrolannya pak Pautan, semoga ketemu lagi di kopdar di lain kesempatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya