Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berebut Cahaya

30 Desember 2009   01:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_45504" align="alignleft" width="300" caption="Ini sebuah persaingan antara PLN, pemilik nyala lampu-lampu jalan dan pemilik rembulan. Ini bukan hanya perseteruan biasa pikir saya."][/caption]

Senja tenggelam menjadi malam. Tugas siapa menerangi kegelapan malam? Lampu-lampu jalanan mulai menyala. Perlahan-lahan rembulan juga menyala samar di timur sana. Segera rembulan dan lampu-lampu jalanan berebut cahaya atau berebut menghapus kegelapan lebih tepatnya. Perseteruannya semakin membara.

Saya segera memacu sepeda motor ke kantor PLN. Kantor telah tutup untuk umum tetapi di lantai atas masih ada beberapa kantor yang menyala. Pasti saya bisa menemui seseorang di sana. Gerbangnya telah dipalang jadi saya memarkir motor di luar. Saya datangi gardu satpam. Beberapa satpam duduk di dalamnya menonton televisi kecil bersama-sama. Seorang di antara mereka menoleh ke arah saya tanpa merasakan sebuah urgensi.

Dari tatapannya, dia menilai saya sebagai seorang kurir yang akan menitipkan barang kiriman atau sejenisnya. Dari tatapan pertama ini mereka tampak seperti doberman yang menjaga aset Negara yang berharga dan saya seekor tikus pithi. Saya harus memasang strategi.

“Bagaimana Kang, aman?” sapa saya sambil membetulkan jaket seolah ada pistolnya.

Semua menoleh kearah saya. Pada tatapan kedua ini image sama sekali berubah. Mereka menjadi anjing penjaga biasa dan melihat saya sebagai pitbull yang kokoh rahangnya dan mematikan gigitannya. Dua kata saja mengubah segalanya. “Kang” kata sapaan bahasa Jawa sengaja kupakai karena memang Jawa wajahnya. Kata ini artinya kakak atau abang, digunakan secara akrab, untuk orang yang sedikit rendah kelas sosialnya. Kata ini merontokkan bulu-bulu dobermannya. Kata kunci kedua adalah “aman”. Ketika saya ucapkan kata ini persepsi mereka segera berubah, percaya bahwa saya adalah yang bertanggungjawab akan sejatinya keamanan negara dan semua asetnya.

“Aman Dan! Ada apa Dan?” laporannya menjawab pertanyaan saya dengan badan menegap menunggu perintah saya.

“Genting. Bossnya masih ada?” jawab saya sambil membetulkan jaket lagi dan kali ini seolah-olah ada dua pistolnya.

“Untung masih ada. Beliau lembur rupanya. Mari saya antarkan ke kantornya.” Komandan satpam segera mengantar saya ke kantor direktur PLN yang bertanggungjawab atas penerangan Jawa-Bali-Sumatra. Dia mengetuk pelan takut mengagetkan bosnya, mengatakan sesuatu padanya lalu keluar sambil mempersilakan saya masuk.

“Silakan duduk Pak. Ada apa rupanya?” Tanya pak Direktur PLN yang bertanggungjawab atas penerangan Jawa-Bali-Sumatra.

“Begini Pak. Malam ini listrik Jawa, Bali, dan Sumatra harus dimatikan.” Jelas saya singkat

“Mengapa … ?” jawabnya kaget dengan muka berkerut dan setengah berdiri dari tempat duduknya. Sepertinya dia ingin berkata: “Apakah Anda sudah gila?” tetapi tanya ini memang tak sempat diucapkannya.

“Karena malam ini bulan purnama.”

“Lalu kenapa..?” pertanyaannya hampir melengking seolah dia sedang bertengkar dengan istrinya.

“Karena malam ini purnama, lampu-lampu jalanan telah merampas keindahan cahaya purnama. Anak-anak tak tahu lagi arti bulan purnama.”

“Iya…lalu kenapa? Anda ini orang gila!”

“Pak saya mohon… matikan listrik Jawa, Bali, dan Sumatra… malam ini saja. Biarlah semalam dalam setiap bulannya anak-anak kita menikmati cahaya rembulan.”

“Hai orang gila… kalau saya matikan listrik sekarang, seluruh negri akan mengutuk saya karena ini jam tayang prima televisi!”

“Bukankah mereka bisa semalam berhenti menonton televisi dan menonton rembulan.”

“Mereka bisa menonton rembulan yang ditayangkan televisi …goblok! Lagi pula Jawa, Bali, dan Sumatra itu pusat industri… kalau listrik mati, pabrik-pabrik akan berhenti berproduksi!” wajahnya merah padam dan suaranya melengking-lengking tinggi.

“Kalau pabrik-pabrik berhenti berproduksi, pekerja-pekerjanya kan bisa beristirahat semalam dan menikmati indahnya rembulan?” bantah saya lagi.

“Wong edan…orang gila!!!” lengkingnya, rupanya dia tak bisa lagi mengusai emosinya. Marahnya hampir meledakkan badannya sendiri. “Kalau listrik mati dan pabrik tidak produksi siapa yang akan memasukkan rekening ke dalam pundi-pundi pajak kami!!!”

“Tetapi pak, meski pundi-pundi kosong kan kita tetap bisa menikmati indahnya cahaya rembulan.”

Pak direktur yang bertanggungjawab atas gemerlapnya Jawa, Bali, dan Sumatra membara. Uap panas keluar dari pori-pori kulitnya seolah dia sedang di kamar sauna. Dia menyambar telponnya, “Satpam..bawa orang gila ini dari kantor saya!!! Jangan pernah membawa orang gila lagi ke kantor saya!!!”

Segera datang tergopoh-gopoh satpam setengah tua itu, lalu berdiri termangu bingung di tengah pintu. Saya membalikkan badan, mengerlingkan mata dan mengacungkan jempol padanya memberi tanda bahwa semua under control. Dengan tegap saya berjalan keluar membarenginya. Di ujung lorong saya berbisik kepadanya: “Mas hati-hati dengan direktur Anda, masak dia berebut cahaya dengan pemilik rembulan. Beraninya dia.”

Satpam itu tampak bingung dan tak mengerti apakah dia harus percaya direkturnya atau percaya persepsinya sendiri. Inspirasi berasal dari bulan purnama di atas Chicago dan M. Burhan Gatot seorang teman lama yang suka mematikan lampu saat purnama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun