[caption id="attachment_88211" align="alignleft" width="150" caption="S. Harsawijaya (1935-2007)"][/caption]
Dalam tradisi Jawa ada kenduri seribu hari mengantar arwah yang pergi. Apapun agamanya di desaku dulu ada tradisi melepas roh ini. Tak semua orang mengirim kenduri ini lagi kini. Bagiku yang dibesarkan di desa dengan doa-doa lawas, tak ada salahnya berkumpul bersama berkenduri. Sesudah kenduri seekor merpati putih berkalung bunga di lepas, terbang bebas ke angkasa dan ditelan keremangan senja.
Seribu hari yang lalu pada pagi aku terlelap dan dia pergi.
Selama satu putaran purnama penuh aku menemaninya. Keluh, desah, erang kesakitan menahan sel-selnya sendiri yang menggerogoti jaringan getah beningnya. Udara adalah bara baginya. Doa-doa kadang menyejukkan jiwanya. Tapi tak jarang pula dia merasa bara udara lebih panas dari sejuk doa.
Dokter-dokter membedah perutnya. Mencari tahu apa yang disembunyikan tubuhnya. Mereka tahu, tetapi tak kuasa berbuat banyak untuknya. Racun-racun disuntikkan dan dialirkan secara konstan ke dalam darahnya. Kabel-kabel dan selang-selang bersliweran di tangan dan kakinya.
Keberuntunganku belajar di LUC saat ini kukira juga doanya yang diungkapan lebih sebagai kutukan waktu itu. Dokter melarangnya membaca koran dan akupun tak membelikannya koran, lalu dia berkata:
“Kau ini akan sekolah tinggi kok seperti bangsa primitif, orang mau membaca koran saja tak boleh.”
Dia sudah merasa saatnya segera tiba. Kesadarannya sering menurun dan mencabuti selang-selang yang tertancap di tubuhnya. Tak jarang aku adu argument dengannya. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, kupikir suntikan racun-racun itu akan membunuh sel-sel kankernya. Aku hanya memakai logika, dia lebih memakai rasa. Logika tak jarang membunuh rasa dan tanda-tanda alam. Kadang dokter ahlipun tak bisa menjawab pertanyaannya:
“Dokter, apakah secara moral, tindakan dokter ini bisa dibenarkan? Mengikat jiwa saya dengan kabel-kabel dan selang-selang dan tidak membiarkan saya pulang.”
Ada keterkejutan di wajah dokter itu. Dia hanya tersenyum, membalikkan badan dan pergi. Mungkin diapun memikirkan jalan pulangnya sendiri.
Semakin hari semakin dia merasa waktunya segera tiba. Dia ingin pulang dan bertemu ibunya. Ibupun juga sedang sakit di rumah sakit lain yang cukup jauh jaraknya. Dengan ambulans kami membawa ibunya mengunjungi dia. Kami rapatkan dua tempat tidur beroda, dua tubuh lemas di atasnya salah mengulurkan tangan.
“Ibu maafkan aku ya …” katanya serak terbata seakan mohon ijin untuk mendahului menemui ayahnya.
“Gendonglah aku pulang nanti … gendonglah aku … ” jawab ibunya. Lalu para perawat memisahkan tempat tidur beroda mereka, mendorong ibunya pergi.
Suatu senja, udara bukan lagi bara baginya tetapi jilatan-jilatan lidah api. Racun nina bobo tak lagi bisa menahan rasa sakitnya. Dia memegangi erat tanganku dan meminta ditembangkan kidung suwuk mantra wedha yang dulu sering ditembangkan ayahnya kalau setan merasuki jiwanya. Kidung ini konon gubahan Njeng Sunan Kalijaga ketika mengislamkan tanah Jawa. Perlahan aku mengidung, dia mengikuti lalu sirep rasa sakitnya dan tertidur …
Ana kidung rumeksa ing wengi / ada tembang dirakit pada gelap malam
Teguh ayu luputa ing lara / indah sentosa terhindar dari sakit
Luput ing bilahi kabeh / terhindar dari semua mara bahaya
Jim setan datan purun/ jin dan setan tidak mau menyentuh
Paneluhan tan ana wani / teluh tiada yang berani
Miwah penggawe ala gunane wong luput / juga guna-guna dari orang yang jahat
Geni atemahan tirta / api bertemu air
Maling arda tan ana ngarah mring mami / niat jahat menjauh dariku
Guna duduk pan sirna / segala guna-guna bakal hilang sirna
Dia berpulang seribu hari yang lalu … pada pagi aku terlelap.
(cuilan catatan 1000 hari bapak berpulang, 8 Maret 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H