Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Profesor Jepang Palsu Mengajar Haiku

9 Februari 2010   02:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:01 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Langit bulan Oktober agak gelap. Semesta di naungi rasi bintang Libra, dan bagi yang tidak suka, cuaca akan dianggap plin-plan, kadang hujan, kadang panas. Tetapi bagi yang suka, inilah cuaca yang berkeadilan, memberi rejeki pada yang perlu panas juga yang perlu hujan.

Adzan magrib belum berkumandang. Beberapa pembeli telah berjajar di angkringan nasi kucing dekat bundaran UGM. Mereka mengelilingi angkring, menikamati teh jahe, kopi jahe, dan panganan. Saling berbincang. Kadang hanya mata yang bercakap karena angkringan hanya jejaring social yang maya tapi nyata. Maya karena kadang mereka tak saling mengenal, nyata karena secara raga mereka ada.

Di pojok seorang berambut agak panjang, berkulit agak terang menulis sesuatu di buku kecilnya. Nampak sangat asyik dia. Matanya saja yang berbicara. Mata yang bulat namun tidak begitu lebar itu kadang tertawa, kadang tersenyum, kadang dirundung duka, kadang juga penuh cinta. Tiga baris-tiga baris saja yang ditulisnya. Kadang mulutnya komat-kamit membaca tanpa suara apa yang ditulisnya.

Kalau sedang tidak menulis dia akan melayangkan pandangnya di daun-daun cemara yang mulai menghitam ditelan petang. Seperti menjumputi ide-ide dari pucuk-pucuk cemara lalu menyeruput kopi jahenya perlahan dan kemudian menulis tiga baris lagi. Kadang mencomot tahu isi, menyuapkan ke mulutnya … tiba-tiba sepertinya mendapat inspirasi … tangannya yang berminyak diusap-usapkan ke celananya dan menulis tiga baris lagi. Tahu isi dibiarkan bergantung di bibirnya.

“Menulis puisi ya?” Tanya seorang yang sepertinya mahasiswa. Melihat dari rambutnya yang gondrong, jeans butut, dan kaos oblong agak kumal dia pasti anak MAPALA. Cewek yang di sebelahnya berpenampilan serupa mereka pasti dari unit kegiatan mahasiswa yang sama.

“Iya. Haiku, puisi pendek Jepang.” Jawab pria itu.

“Apa namanya?” Tanya yang cewek juga ingin tahu.

“Haiku. Puisi tiga baris … seperti ini.” Dia menyodorkan buku kecilnya.

“Wah asyik ya?” celetuk si cowok Mapala.

“Isinya biasanya tentang alam, tapi bisa juga tentang apa saja.” Jelas pria itu.

“Lihat-lihat …” pinta dua orang lain yang duduk di ujung bangku.

“Wah menarik ya … bisa mengajari kami pak?” Tanya cewek berkerudung yang baru saja bergabung dari arah gelanggang mahasiswa, sepertinya dia dari UKM kerohanian.

Pria itupun tersenyum, mengambil buku kecilnya dan mulai menjelaskan cara membuat haiku. Ceritanya juga dibumbui sedkit sejarah haiku dan contoh-contoh haiku dari Matsuo Basho yang dia hafal luar kepala.

Semua jadi berhaiku. Menulis, mencoba membaca dan menunjukkan haikunya kepada pria itu, sekedar mengecek ketepatan. Ketika ditanya, pria itu mengaku bernama Ramura.

“Apa, mas?” Tanya seorang pengamen remaja yang menyandang kencrung ukulele di punggungnya bak satria bergitar.

“Haiku, puisi dari Jepang.” Jawab si gondrong Mapala.

“Weh … apik itu. Aku ikut bikin, bisa untuk ngamen hehehe.” Si satria bergitarpun ikut berhaiku setelah memesan segelas es teh.

Semua Nampak puas berhaiku. Ada yang membuat satu, ada yang dua, bahkan ada yang menulis beberapa. Hanya pak Man yang tidak berhaiku karena dia sibuk melayani pesanan. Kalau diberi kesempatan mungkin diapun jagoan haiku, karena di saat senggang biasanya dia rengeng-rengeng tembang macapat, sebentuk puisi singkat dalam tradisi Jawa.

Petang makin gelap. Lampu jalanan mulai bersahutan menyala. Profesor Ramura mengemasi buku catatan kecilnya dan pamit pergi. Semua berterima kasih karena telah diajari menulis haiku.

“Pulang mas Mura?” Tanya seorang bapak setengah tua yang baru datang.

“Iya pak, sudah hampir malam. Mari pak.” Jawabnya.

“Ya … hati-hati di jalan.” Pesan pak Sikat, begitu orang menjulukinya karena dia selalu berkata “sikat” di hampir semua kalimatnya yang selalu berapi-api. Hampir semua yang sering nangkring di situ mengenal pak Sikat karena selalu berbicara lantang dan berapi-api. Siapa sebenarnya dia tidak ada yang tahu. Katanya waktu mudanya dia adalah seorang aktivis mahasiswa.

“Lho, kenal dia pak?” Tanya si gondrong Mapala pada pak Sikat.

“Ya. Kenal Ramura kan? Bapaknya itu dulu teman saya.”

“Dia Profesor Ramura dari Jepang kan?”

“Jepang mbahmu, rumahnya itu belakang pasar Godean sana.” Jawab pak Sikat dengan sinis.

“Lho bukan professor dosen tamu di sini?”

“Hahaha … professor apa … dia itu kuliah di filsafat aja nggak lulus kok iso professor.” Pak Sikat terbahak-bahak sambil memegang cakar goreng kesukaannya.

“Wah … kurang ajar! Asu! Professor palsu.” Kata si Mapala sambil meremas kertas haikunya.

“Lho kok palsu gimana?” Tanya pak Sikat heran.

“Tadi kutanya namanya dia bilang Ramura. Kutanya apakah professor dari Jepang dia tersenyum seakan mengiyakan.” Jelas si Mapala.

“Dia kan hanya tersenyum … nggak bilang iya. Kalau namanya memang Ramura, karena dia lahir pada jaman resesi, apa-apa mahal, ora murah jadi Ramura … hehehe...” Jelas pak Sikat

(bersambung, pulang dulu mulai gelap)

8/2/2010, jam 5.30 sore, kafe basement Loyola pura-pura di angkringan bundaran Jogja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun