Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ibu dan Guru

29 Januari 2010   06:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:11 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_63862" align="alignleft" width="159" caption="ibuku dan guruku "][/caption]

Ibuku adalah guru sekolah dasar yang berpindah dari desa ke desa. Pertama dia mengajar di pedesaan daerah selatan Yogyakarta. Lalu dia berpindah ke SD di dekat sebuah pasar di barat Yogyakarta. Itu mengapa ketika berbelanja di pasar itu dia begitu bahagia, karena sebagian besar penjual adalah bekas muridnya. Dan penjual-penjual itu tetap memanggilnya “BU GURU”.

Dia memang salah satu guru wanita yang pertama di daerah itu. Jadi waktu orang berkata “bu guru” mereka mengacu padanya dan bukan guru yang lain. Meskipun kemudian banyak guru-guru wanita yang lebih muda tetapi kata “bu guru” itu seolah menjadi miliknya. Dan dia sangat bangga dan bahagia dengan itu.

Namun memang tidak selalu kebanggaan status itu diikuti oleh kecukupan ekonomi. Ku kira baginya mengajar adalah sebuah seni. Bukan untuk mencapai kecukupan materi, bukan profesi tetapi lebih ekspresi diri. Menanam bunga-bunga kecil dan menyiraminya. Melepas ikan-ikan kecil di parit-parit dan memberi makan bekatul supaya mereka kuat dan siap berenang di sungai yang lebih besar.

Jika engkau melihatnya berangkat kerja naik sepedanya. Kau seperti melihat penari salsa. Perlahan, anggun tetapi penuh daya. Jari-jarinya yang lentik memegang erat stang sepeda. Kaki kirinya naik ke pedal kiri, dan kaki kanannya menghentak-hentak lembut memberi daya dorong pada sepeda kemudian melangkah perlahan ke kanan dan kemudian dengan anggun mendudukan diriya di atas sepeda. Lalu menari menelusuri jalan-jalan desa yang tak beraspal. Senyum ringan tersungging di bibirnya.

Matahari pagi menyambutnya. Embun-embun di rumputan pinggir jalan menjatuhkan diri. Para petani mengangkat topi bambu dan berkata: “Berangkat Bu Guru.”

Yang ku tahu ia tak pernah berkata cela. Karena dia tahu cela membuat bunga-bunga kecil layu dan ikan-ikan kecil mati sebelum mencapai sungai.

Ia guruku di kelas satu SD, di rumah ia ibuku. Dia sangat professional dalam memisahkan peran itu. Aku ingat ketika sebagai guru ia menghukumku.Ketika teman-teman menyalin tulisan dari papan, aku berjalan-jalan bersama khayalanku. Ketika lonceng tanda sekolah usai berbunyi, semua temanku mengumpulkan hasil salinan dan boleh pulang. Aku tak punya apa-apa untuk dikumpulkan, jadi aku mendapat hukuman. Menyalin tulisan dari papan. Aku menangis tersedu karena semua teman telah meninggalkan bangku dan di kelas tinggal aku dan bu Guru. Sebagai guru ia menghukumku, sebagai ibu ia menghukum dirinya sendiri karena harus menunggu anaknya. Guru yang lain dan Pak Mantri, sebutan untuk kepala sekolah bertanya: “Mengapa harus dihukum anak ibu?” Dan dia menjawab: “Di rumah dia anakku, di sekolah dia muridku.”

Sebelum aku pergi untuk waktu yang lama karena studi, tatapannya yang mulai tua mendua. Sebagai guru dia mendorongku, belajarlah, pergilah. Sebagai ibu dia melarangku, dalam benaknya: “Kau tak akan menjenguk aku di akhir minggu? Pisang yang dibelikan pembantu mengapa tak seenak yang dibelikan anakku?”

Di-repost untuk ulang tahun ibu, 30 Januari . (cuilan catatan untuk ulang tahun ibu)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun