Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ziarah, Tetirah 2009

31 Desember 2009   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:41 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_46163" align="alignleft" width="300" caption="Al Capone"][/caption]

Kereta panas, pengap, dan bau tropis terbawa angin berputar-putar di gerbong. Dari ujung belakang gerbang datang tiga orang pengamen. Mereka menyanyikan lagunya Simon dan Garfunkel yang populer di tahun 70an sampai 80an. Di gerbong saya lagunya tinggal ujungnya saja dan diulang-ulang oleh dua orang pengamen sementara yang satu lagi menarik uang atas suara mereka dengan sebuah kantong permen yang lusuh.

They've all gone to look for America All gone to look for America All gone to look for America …

Seolah-olah tahu tujuan saya, ujung lagu itu diulang-ulang selalu. Bahkan setelah mereka pergi ke gerbong lain rasanya seperti cd atau kaset yang rusak secara tidak sengaja terputar ulang, dan lagi, dan lagi. Sesampai di stasiun Gubeng Surabaya seolah ekor lagu itu masih dimainkan di kepala saya.

Sesampai di Jl. Dr. Sutomo no 33 lagu tiga pengamen itu tetap mengikuti saya. All gone to look for America… Agak jauh dari bangunan nomor 33 taksi saya berhenti. Kendaraan tidak boleh berhenti di depannya. Di depan bangunan itu dipasang beton-beton penghalang. Bangunan berpagar tinggi dan di ujung atas pagarnya dipasang kawat berduri model terbaru. Bukan sekedar kawat berduri yang biasa dipakai pagar pasar, sebenarnya lebih tepat kalau disebut kawat bersilet karena sepanjang kawat ada semacam pisau-pisau silet baja.

Sebuah pos polisi ada di ujung penghalang-penghalang beton. Kira-kira 8 orang polisi ada di sini. Dua orang menjaga gerbang, dua orang lagi menjaga portal besi di ujung beton penghalang, yang lain lagi menghindari terik panasnya Surabaya di dalam pos yang berupa sebuah kontener besi, sederhana tetapi ber-AC. Dua satpam berada di balik pagar berkacamata hitam, pentungan di pinggang, radio panggil digantungkan di dada dari pundaknya. Gaya dan gerak-gerik mereka seolah-seolah secret service yang menjaga seorang presiden.

Jl. Dr. Sutomo no 33 Surabaya, bangunan yang disewa untuk Konjen Amerika. Jalan di depannya juga sepertinya ikut disewa karena dipasangi penghalang-penghalang beton mungkin maksudnya untuk meredam ledakan kalau ada bom.

Saya masuk antrian. Matahari tak ada kompromi memelototi saya. Tiba di depan portal besi, polisi itu menanyakan nama saya dan meminta KTP saya, menandai nama saya dalam daftar yang dibawanya. Saya menuju antrian kedua di depan gerbang besi kokoh. Pagar terbuat dari pipa-pisa besi yang berdiameter kira-kira 5 cm. Mata satpam yang seperti secret service di pagar memeriksa saya dan meminta paspor dan dokumen lainnya. Lalu menyuruh saya masuk pagar. Di dalam pagar saya menyerahkan semua dokumen dan membayar uang administrasi. Lalu pintu besi berat bercat coklat yang hanya bisa dibuka dari dalam terbuka.

Ruang pemindai yang ketiga. Semua barang dikeluarkan dari tas dan saku saya. HP saya diminta, dimatikan, dan disimpan di sebuah laci. Saya harus maju mundur 3 kali di mesin pemindai karena flash disk yang ada di dompet saya. Saya lupa mengeluarkannya. Semua barang yang bisa membahayakan kemanan diminta. Saya diberi nomor sebagai gantinya.

Ruangan keempat, ruang wawancara. Sudah ada sekitar 10 orang di dalamnya. Semuanya terdiam, hanya sesekali saja bicara. Wajah-wajah mereka was-was, apakah akan diberi visa. Semua tenang mungkin karena mencoba menguping pertanyaan-pertanyaan wawancara. Dua ditolak, tiga diterima. Saya lihat kalau yang ditolak visanya diberi surat, kalau yang diterima diberi semacam kartu.

Satu urutan di depan saya, seorang wanita yang agak tua, dia bilang suaminya pengusaha, akan ke Amerika menjenguk familinya. Ditolak. Berusaha menjelaskan, menunjukan semua rekening tabungannya dan suaminya, menunjukkan surat undangan dan surat sponsor.

“Semua alasan penolakan ada di surat itu.” Kata petugas dari dalam loket sambil melambaikan tangannya, memberi isyarat untuk pergi. Wanita itu tetap berusaha menjelaskan dan memberi alasan. Tangan petugas itu melambai untuk yang kedua kali. Wanita agak tua itu menggerutu, tak begitu jelas dia berkata apa lalu pergi.

Giliran saya. Petugas memberi petunjuk supaya saya menempelkan jari-jari saya untuk diambil sidiknya. Pewawancara orang Amerika tetapi wajahnya seperti serdadu KNIL Belanda. Rambutnya dipotong cepak model tentara. Kacamatanya kecil kotak, memperkokoh rahangnya yang juga kotak. Matanya serius penuh selidik. Bajunya rapi tetapi kancingnya sengaja dibuka dua. Terlihat merah-merah di dada dan lehernya. Mungkin gigitan serangga? Serangga-serangga daerah tropis Surabaya mungkin?

“Apa tujuan saudara ke Amerika?” pertanyaan standar yang nampaknya biasa tapi bisa menjadi fatal kalau salah menjawabnya.

“Ziarah atau tetirah mister.” Jawab saya terdengar seperti jawaban seorang inlander pada seorang serdadu KNIL.

“Ziarah? Maksud saudara?” alisnya berkerut, matanya memicing, kepalanya mendongak, dadanya membusung seolah memamerkan gigitan-gigitan serangga tropisnya.

“Saya kan akan pergi ke Chicago. Saya akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah dari Al Capone dan ngalap berkah, atau meminta berkah dari tempat-tempat itu.” Jelas saya.

“Meminta berkah?” alisnya makin berkerut, wajahnya cemberut.

“Ah mister ini kerja di sini tapi tak memahami budaya orang sini. Mister kan tahu kondisi negri ini korupsi, kolusi, konspirasi, suap-menyuap, dan hal-halillegal lainnya. Nah Al Capone kan ahlinya. Dia itu kan dijuluki ‘the untouchable’, nggak bisa disentuh. Nah saya harus tetirah dan belajar dari dia secara spiritual.” Jelas saya. Petugas berwajah KNIL itu manggut-manggut.

“Tapi..tunggu saudara ini mau menjadi seperti Al Capone atau mau melawan orang-orang yang seperti Al Capone?” Tanya dia penuh curiga.

“Ah..mister ini. Sekali lagi ini masalah budaya sini, budaya lokal, Yin dan Yang … siang dan malam … matahari dan rembulan… “

“Cicak dan Buaya?” sambungnya sok tahu. “You bisa jadi Yin bisa juga jadi Yang. You bisa jadi siang and also malam…” lanjutnya semakin sok tahu.

Welcome to America!” katanya sambil membubuhkan cap dan tanggal pada sebuah kartu. “Please collect your visa next week.” Sambil menyodorkan kartu itu kepada saya. Saya pergi dengan rasa lega karena saya akan segera ziarah dan tetirah kepada Al Capone  yang sakti dan jarang terjamah di Chicago.

Terinspirasi oleh wawancara visa dan film "The Untouchables".

sumber gambar ilustrasi: dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun