Mohon tunggu...
otnielzebua
otnielzebua Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Saya adalah seorang mahasiswa ilmu politik di Universitas Sumatera Utara saya memiliki minat dalam menulis artikel mengenai kebijakan politik, Komunikasi Politik dan Politik nasional serta Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Implikasi Joint Statement Indonesia-China di kawasan Laut Cina Selatan Terhadap Kepentingan Nasional Indonesia dan Keutuhan ASEAN

14 Desember 2024   13:17 Diperbarui: 14 Desember 2024   13:17 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : CNN Indonesia

Hubungan Indonesia dan china telah berlangsung sangat lama sejak sangat lama lebih tepatnya pada abad- 7 masehi. Yang saat itu Indonesia dan china saling mengadakan kerjasama di bidang perdagangan. Selain itu Indonesia dan china juga berkerjasama di bidang keagamaan melalui penyebaran agama Buddha saat itu. Hubungan diplomatic Indonesia-china secara resmi terjadi pada 13 April 1950. Saat itu soekarno sangat dekat dengan pemerintahan RRC yang dipimpin oleh Mao Zedong. Hingga tahun-tahun selanjutnya hubungan Indonesia-china berlangsung baik walaupun terdapat beberapa konflik namun hingga kini hubungan diplomatik tersebut masih berlangsung.

Hal ini terlihat dengan munculnya kesepakatan antara Indonesia-china pada 9 November 2024. Pertemuan antara presiden Prabowo dan Xi jinping ini telah menghasilkan 7 kesepakatan. Dari 7 kesepakatan ini terdapat satu kesepakatan yang menuai perhatian yakni kerjasama ekonomi biru, dalam kerjasama ini terdapat salah satu point kesepakatan bersama (joint statement) Indonesia dan china terkait LCS yakni pada poin ke 9  yang berbunyi :

Kedua pihak menekankan kerja sama maritim sebagai komponen penting dalam kerja sama strategis komprehensif antara China dan Indonesia. Mereka akan secara aktif menjajaki dan melaksanakan lebih banyak proyek kerja sama maritim, menciptakan lebih banyak terobosan positif, bersama-sama menjaga perdamaian dan ketenangan di laut, memperbaiki sistem tata kelola maritim, menjaga laut tetap bersih dan indah, serta mencapai kesejahteraan maritim. Kedua pihak juga mencapai kesepahaman penting tentang pengembangan bersama di wilayah yang memiliki klaim tumpang tindih, serta sepakat untuk membentuk Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah guna menjajaki dan memajukan kerja sama terkait berdasarkan prinsip "saling menghormati, kesetaraan, manfaat bersama, fleksibilitas, pragmatisme, dan pembangunan konsensus," sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

Dari poin ke 9 ini terdapat berbagai spekulasi yang muncul salah satunya adalah apakah Indonesia mengakui nine dash line china atau ini hanyalah bagian dari kerjasama maritim. Salah satu pernyataan yang perlu dilihat adalah terkait prinsip saling menghormati hukum dan peraturan masing-masing negara dianggap mampu menimbulkan konflik baru. Karena secara tidak langsung pernyataan ini mendukung adannya nine dash line di kawasan laut china selatan.  Tentu melihat peristiwa panas yang terus berlangsung dikawasan ini akan menimbulkan konflik yang lebih besar apabila joint statement ini mengarah pada kepentingan China. Beberapa akademisi seperti Guru Besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menjelaskan bahwa Joint statement terjadi apabila masing-masing negara mengakui zona maritim yang saling tumpang tindih, jadi secara tidak langsung kondisi ini menjelaskan bahwa Indonesia mendukung laut cina selatan milik china (Ramdan, 2024).

Namun Prabowo menjelaskan bahwa joint statement yang dibangun akan diselaraskan dengan kepentingan Indonesia dan kawasan khusunya ASEAN. Prabowo menjelaskan bahwa Indonesia menghormati kerjasama dengan negara lain dia percaya kolaborasi penting untuk mengindari konflik.  Selain itu Kemenlu juga menjelaskan  bahwa kerjasama ini tidak bermakna Indonesia mendukung nine dash line dan menegaskan posisi Indonesia sesuai UNCLOS 1982. Namun dari pernyataan prabowo dan kemenlu belum dapat mengambarkan kondisi atau posisi Indonesia (Fika Nurul Ulya, 2024).

Untuk kepentingan Indonesia terdapat beberapa implikasi dari joint statement ini yakni Pertama kedaulatan dan geopolitik Indonesia akan terganggu, meskipun prabowo menyampaikan kesepakatan ini tidak mengubah posisi terkait kedaulatan atas wilayah Laut Natuna Utara. Dukungan terhadap china akan mempersulit geopolitik Indonesia khususnya di wilayah ASEAN. Hal ini dapat memunculkan persepsi bahwa Indonesia tidak cukup aktif memperkuat solidaritas ASEAN dalam menghadapi tantangan di Laut Cina Selatan. Namun disisi lain keterlibatan aktif Indonesia dalam pembahasan lokasi geografis yang diklaim bersama dapat memperlihatkan kepemimpinan regionalnya (Sarlini, 2024). Pendekatan yang lebih pragmatis ini bisa meningkatkan posisi Indonesia sebagai mediator yang memprioritaskan stabilitas regional, tetapi harus diimbangi dengan penegakan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Kedua ekonomi, dengan adannya joint statement ini tentu akan membuka kesempatan bagi Indonesia untuk menciptakan ekonomi strategis seperti pengelolaan sumber daya laut dan konservasi perikanan. Hal ini dapat meningkatkan pendapatan dari sektor kelautan dan mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan. Namun, risiko juga muncul jika kerja sama ini hanya menguntungkan China, misalnya melalui eksploitasi sumber daya yang tidak seimbang atau kurangnya transfer teknologi kepada Indonesia. Penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa kerja sama ini melibatkan manfaat nyata bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan, dan menjaga keberlanjutan lingkungan laut.

Untuk ASEAN terdapat beberapa implikasi dari joint statement tersebut yakni pertama keutuhan ASEAN, Pendekatan bilateral dalam isu Laut Cina Selatan, seperti yang dilakukan oleh Indonesia melalui kesepakatan ini, berpotensi melemahkan solidaritas ASEAN. ASEAN memiliki mekanisme bersama, seperti Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) dan negosiasi Code of Conduct (COC), yang dirancang untuk mengelola konflik secara kolektif (Putri, 2024). Faktanya Negara-negara seperti Filipina dan Vietnam, yang memiliki sengketa langsung dengan China, kemungkinan melihat kerja sama bilateral Indonesia-China ini sebagai langkah yang dapat memarginalisasi posisi kolektif ASEAN dalam menentang klaim sepihak China. Kemudian yang kedua akan mempengaruhi stabilitas kawasan karena walaupun Kerja sama ini bertujuan menciptakan perdamaian dan pembangunan di Laut Cina Selatan, tetapi juga dapat dianggap sebagai pengakuan implisit terhadap klaim China atas wilayah tersebut jika tidak dikawal dengan tegas.

Hal ini dapat mengganggu stabilitas kawasan, terutama jika negara-negara lain merasa kepentingan mereka terancam. Apalagi dalam poin dijelaskan pembentukan komite untuk membahas lokasi geografis dengan klaim tumpang tindih. Langkah ini, meski dihargai untuk tujuan kolaborasi, bisa menimbulkan persepsi negatif jika China memanfaatkannya untuk memperkuat posisinya. Terakhir mengenai kepemimpinan Indonesia di ASEAN akan terganggu, indonesia dapat memperkuat perannya sebagai pemimpin ASEAN dengan menjadi jembatan antara China dan negara anggota ASEAN lainnya. Namun, jika kesepakatan ini tidak transparan atau dianggap berpihak, kredibilitas Indonesia di ASEAN dapat terganggu.

Joint Statement antara Indonesia dan China terkait Laut Cina Selatan memiliki implikasi signifikan terhadap kepentingan Indonesia dan ASEAN. Bagi Indonesia, kesepakatan ini menghadirkan peluang kerja sama ekonomi strategis, seperti pengelolaan sumber daya maritim dan konservasi, yang berpotensi mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun, risiko muncul jika kesepakatan ini cenderung menguntungkan China secara tidak seimbang, misalnya dalam eksploitasi sumber daya. Selain itu, meskipun pemerintah menegaskan bahwa kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara tidak terganggu, persepsi publik tentang sikap Indonesia terhadap klaim sepihak China masih menjadi tantangan, terutama untuk menjaga posisi diplomatik di kawasan.

Kesepakatan ini juga menyoroti pentingnya pendekatan seimbang yang menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, dan memastikan bahwa kerja sama tersebut tidak dimanfaatkan untuk memperkuat klaim sepihak. Stabilitas kawasan dan keutuhan ASEAN memerlukan kebijakan yang terkoordinasi, di mana Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas regional. Joint Statement ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia dan ASEAN. Keberhasilannya sangat bergantung pada bagaimana Indonesia mengelola kerja sama ini tanpa merugikan kepentingan nasionalnya serta memastikan posisi ASEAN tetap kuat dan relevan di kawasan Laut Cina Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun