Pilkada DKI memang cadas. Bahkan kalau aku nilai sudah lebih dari cadas. Heavy metal bahkan di atasnya. Sudah menabrak hal-hal yang sangat terlarang untuk ditabrak.
Walaupun demikian, semuanya masih dalam koridor terkendali. Ibarat orang main wayang. Sang dalang masih menguasai situasi. Walau terkadang sang wayang terkadang lepas kendali di atas pohon pisang dan beber penonton.
Dua peristiwa penting minggu ini adalah Risalah Istiqlal dan Dajal. Dua peristiwa itu semuanya  dipicu oleh satu orang yang bernama panggilan Ahok.
Saya sedih dan berduka untuk NKRI. Balutan kata dan juga retorika yang keluar dari dua peristiwa itu --silahkan lihat di berbagai media—sungguh apik tetapi sebenarnya saya berduka untuk NKRI.
Satu batu sudah dipasang. Ahok sudah melangkah. Nasdem, Hanura dan Golkar dan terakhir dukungan dari PDI-Perjuangan membuat Ahok yang membuatnya berpasangan kembali dengan Djarot.
Ahok-Djarot sudah memegang tiket VVIP. Sampai sejauh ini Nasdem, Hanura dan Golkar serta PDIP-Perjuangan solid. Bahkan mereka kenyal, lentur dan saling merangkul. Teman Ahok yang berada di lingkar luar politik tradisional pun tetap solid.
Kali ini yang pusing adalah partai-partai selain Nasdem, Hanura, Golkar dan PDI-Perjuangan. Mereka pusing karena tarik menarik calon gubernur dan wakil gubernur yang belum juga mencapai titik temu. PKB, PPP, PAN, PKS, Gerindra dan Demokrat mesti cepat mengambil sikap karena waktu terus berjalan.
Amien Rais yang berusaha untuk menjadi  king  maker di DKI berusaha untuk mencari momentum. Pernyataan-pernyataan kerasnya terhadap gubernur petahana diharapkan dapat merontokkan kepercayaan publik terhadap petahana.
PDI-Perjuangan selaku pemilik wakil terbanyak di DPRD DKI-Perjuangan pun tak luput digoyang oleh orang dalam sendiri. Walau digoyang, didemo dan lain sebagainya, sepertinya Megawati tetap kalem dan berketetapan hati.
Sang Ibu, ternyata  eh ternyata menunjukkan pada masyarakat Indonesia kalau dia lebih memilih anak yang sudah dijuluki beringas, nakal, tak sopan apalagi santun, penggusur, pro pemodal asing, terakhir dajal. Anaknya dijuluki segala macam yang negatif.
Walah kuping Sang Ibu ternyata tidak tipis-tipis amat. Sang Ibu justru mendengarkan apa yang sudah dikerjakan dan diperbuat oleh anaknya. Anaknya yang menggusur tepian sungai yang diokupasi oleh orang yang tak berhak lalu diberi tepat yang layak dan sederhana. Sungai pun dinormalisasi. Anaknya yang memarahi orang yang tak jujur. Anaknya yang kalau ngomong seenak bacotnya. Anaknya yang berjibaku dengan seluruh birokrasinya dan pasukan terbawahnya membersihkan sungai di Jakarta.