Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi

1 September 2023   22:38 Diperbarui: 1 September 2023   22:42 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini kejadian SMP. Wali kelas mengumumkan siapa saja yang ingin mencalonkan, dapat mengajukan diri. Setelah itu ditanyakan ke seluruh siswa masih adakah yang  layak dicalonkan? Siswa yang kagum, suka dengan siswa lainnya biasanya akan menyebut nama (temannya). Wali kelas akan menanyakan kesediaannya dan biasanya jika mau, ada teriakan untuk maju, ayo-ayo, maju-maju atau menyebut-nyebut namanya. Gemuruh.

Lalu pilihan, bisa dengan kertas suara (buku tulis yang disobek bagian tengahnya. Dibagi-bagi, kecil-kecil asal cukup untuk tulis nama atau nomor mewakili kandidat calon ketua kelas). Suara terbanyak jadi ketua kelas, suara terbanyak kedua jadi wakil. Pakemnya seperti itu. Bendahara, biasanya dipilih dari perempuan. 

Di masa SMP pernah menjadi saksi, seorang perempuan good looking, tomboy bertarung untuk menjadi ketua kelas. Menang dengan skor yang sangat tipis. Kejadian tersebut, menjadi kali pertama untuk ke depan mengetahui kalau dulu waktu SMP pernah terjadi pertarungan gender.

Pak RT yang dipilih itu penerima mandat. Ketua kelas terpilih itu penerima mandat. Mandat kekuasaan untuk memimpin warganya. Mandat kekuasaan untuk memimpin kelasnya. Simple. Ini demokrasi langsung lingkup kecil.

Demokrasi itu mudah untuk diucapkan disampaikan diteriakkan tetapi terkadang bahkan sering menjadi kabur ketika dilaksanakan. Pengucap, penyampai, peneriak, sender terkadang lupa diri kalau dengan ucapan, sampaiannya dan teriakkannya itu sudah menandakan kalau dia menjalani hidup di alam demokrasi. Ketika pengucap, penyampai, peneriak sender sudah tidak bisa lagi berucap, menyampaikan dan meneriakkan pendapatnya, pada saat itulah sebenarnya demokrasi sudah mati. Ketakutan yang ada. Kalau masih bebas ya artinya pengucap, penyampai, peneriak masih hidup di alam demokrasi.

Suara Rakyat
Suara rakyat. Suara Rakyat. Rakyat. Rakyat. Atas nama rakyat. Stop! Terkadang mengatasnamakan rakyat itu begitu entengnya diucapkan, disenderkan. Atas nama rakyat itu terkadang perlu ditanyakan? Perlu ditanyakan apa betul? Berapa jumlahnya? Rakyat yang mana? Apa tujuannya?

Anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR RI itu sebenernya yang bisa mengatasnamakan rakyat. Kadang masih ada juga yang jahil, nanya, Dapil mana dia?

Jika yang ngomong atas nama rakyat adalah orang yang berdemo di jalan, depan kantor kabupaten/kota/provinsi atau di DPRD kabupaten/kota/provinsi dan DPR RI maka agak aneh kalau mereka mewakili rakyat. Pertanyaan remeh ini kadang menyakitkan tetapi perlu juga dipertanyakan karena terkadang banyak kelompok-kelompok kepentingan bersuara atas nama demokrasi. Padahal mereka memiliki hidden agenda tersendiri.

Coba tanyakan pada peserta demo, kenapa ikut demo? Apa yang didemokan? Tujuannya apa?

Demokrasi sejatinya adalah pesta. Demokrasi dipandang sebagai populasi dan hak asasi manusia adalah mereka yang berumur 17 tahun. Mereka memiliki hak untuk memilih siapapun yang mereka inginkan mulai dari anggota legislatif (DPRD, DPR RI, DPD) hingga eksekutif (bupati/walikota, gubernur dan presiden).

Salam Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun