Hari Sabtu dan Minggu adalah hari melambatkan segala sesuatu. Lambat bangun tidur. Lambat sarapan. Lambat duduk di teras. Lambat menyapu halaman. Semua melambat. Bahkan tiga mata juga sudah ikut-ikutan melambat kecuali ada kegiatan yang memang harus dilaksanakan di sekolah.
Sarapan pagi di pasar terkadang menjadi pilihan yang menyenangkan. Bisa berbaur dan melihat aktivitas pagi mengais receh mempertahankan hidup dan bertahan hidup.
Sabtu, pukul enam pagi suasana masih temaram. Memesan bubur ayam di depan pasar. Mencari bangku dan meja. Penuh. Pilihannya, ubah rencana atau makan bubur di kursi plastik tak bermeja. Akhirnya diputuskan makan di tempat, duduk di kursi plastik.
KKP penikmat bubur diaduk. Sate usus dan sate kerang. Aku penikmat bubur tak diaduk. Tanpa ada permintaan, secara reflek, emping di mangkok KKP akan berpindah ke mangkokku. Jemari lentik itu, otomatis memindahkan emping ke mangkokku.
Reflek. Sama ketika dia tanpa canggung mengambilkan nasi dan lauk untukku ketika masih pacaran. Waktu seakan-akan melambat berputar, mata teman-temannya langsung tertuju pada cara KKP "melayani".
Baru tiga sendok menikmati bubur dari pinggir mangkok, tiba-tiba ada suara dering telepon genggam milik lelaki yang sedang menikmati bubur di meja.
"Selamat Pagi sayang," ujar si penelpon.
Lelaki pun tanpa canggung membalas, "Selamat Pagi sayang".
"Kemarin ke mana saja? Aku di sini cemas menunggu kabar darimu. Paling tidak ngabari. Apa tidak ada waktu, lima menit saja untuk kasih kabar? Apakah kamu lupa dengan diriku?". Suara dari sebrang, flat, tetapi ngiris seperti sembilu.
Si lelaki sepertinya belum sadar kalau pengaturan suara terima teleponnya agak kenceng sehingga orang lain bisa mendengar. Sayup-sayup. Cuma jelas.