Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membongkar Kepala Lelaki dan Kuasa atas Perempuan

18 Desember 2021   12:49 Diperbarui: 21 Desember 2021   03:40 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca sejarah kuasa lelaki ribuan tahun lalu pada perempuan adalah kesedihan dan derai air mata. Membaca sejarah perempuan dalam perang adalah kepiluan dan kepedihan tak ada obatnya. Membaca berita (baca: Sejarah) perempuan sekarang seperti luka kena sembilu tersiram air jeruk.

-

Lebih dari dua puluh lima tahun lalu, seorang perempuan berada di sudut sebuah ruangan. Perempuan itu adalah dua atau tiga dari puluhan perempuan yang memang berbeda dengan perempuan lainnya.

Di ruangan itu sedang ada diskusi mengenai perempuan dan perkawinan dalam sejarah. Perempuan yang berbeda dari sudut penampilan dan pakaian itu lebih banyak tertunduk sambil memainkan penanya mencatat topik-topik pembicaraan.

Menjelang akhir diskusi, sang mentor bertanya pada perempuan di sudut, "bagaimana cara menghormati perempuan". Sang mentor berdiri persis di depan perempuan. Sang perempuan terhenyak sejenak dan kemudian menjawab, "monogami". Sang mentor yang kebetulan lelaki kini menjadi yang terhenyak dengan jawaban sang perempuan.

Tidak ada diskusi. Jawaban itu seakan-akan menjadi penutup diskusi.

--

Hari gini masih berlagak, sekarang perempuan sudah enak, dimuliakan, statusnya sama dengan lelaki. Mana sejarah perempuan ribuan tahun lalu yang dikuasai oleh lelaki? Diminta untuk membaca pasti ngambek. Mana sejarah perempuan dalam perang yang pilu dan pedih, diperkosa menjadi budak? Diminta untuk kembali membaca selalu berkelit.

Di dunia modern ini, kasus perkosaan perempuan diluar nalar terjadi di berbagai tempat. Pelaku-pelakunya tersebar di banyak wilayah dengan segala macam predikat sosial yang melekat pada pelaku. Begitupun dengan alasan perkosaan dan penculikan.

---

Salah siapa kalau  Simone de Beauvoir menulis  Le Deuxime Sexe (1949) yang kalau diterjemahkan menjadi The Second Sex. Seorang lelaki selengekan bahkan secara brutal mengatakan perempuan sebagai warga kelas dua, makhluk tak dianggap dalam diskusi mingguan setiap hari kelima di perpustakaan sebuah universitas, tiga puluhan tahun lalu. Si lelaki menyampaikan berbagai fakta dengan berbagai macam sumber. 

Setelah itu mari membaca Kompas, harian cetak yang mungkin satu-satunya yang masih melakukan cetak jarak jauh di berbagai daerah. Berita utamanya "Komitmen Negara Tindak Tegas Pelaku", halaman 1 (15/1/2021).

 Otak lelaki itu sudah ditanamkan oleh adat budaya dan pergaulan kalau tubuh perempuan itu adalah bentukan ekploitasi. Susahnya perempuan juga ditanamkan kalau tubuhnya adalah materi eksploitasi untuk dan bisa menghasilkan uang.

Bagi yang alisnya bagus saja masih mo dicorat-coret pake pensil. Biar kekinian dan rapi. Bagi yang alisnya kurang bagus, tumbuhnya kurang rapi dan lain sebagainya boleh juga disulam alis atau ditato. Ini masih bisa diterima.

Begitupun dengan bibir. Warnanya warna warni. Kurang tipis ditipisin. Kurang tebal ditebalin. Harganya mak jleb.

Bulu mata apalagi. Bisa kok dibuatkan bulu mata yang melentik. Ada bulunya, ada alatnya, ada caranya.

Bagi kaum lelaki yang memang mata kinjar, eh keranjang mungkin asik. Bagi lelaki yang suka apa adanya, satu waktu pernah kena sikut dan dibisikin oleh istrinya, "kamu suka kan". Jawaban singkat suami, "tidak. Hanya suka kamu apa adanya".
----
Lebih dari dua dekade lalu seorang lelaki harus mencari cara agar pendidikan seksual di kelas setingkat SMP berjalan akrab dan kocak. Mencari gantungan kunci, kaos-kaos, gelang-gelang keren, dan stiker. Dilakukannya dengan penuh "cinta" untuk diberikan pada anak-anak yang mau bertanya, mau memberikan pendapatnya, mau berdialog tanpa beban. Perlu diinformasikan tidak ada bayaran untuk pemberian materi pendidikan seks.

Memahami "bahasa" mereka sangat sulit. Menciptakan kepercayaan satu sama lain. Begitupun dengan mencairkan suasana butuh ketepatan agar tidak ada gerakan alamiah menutup diri.

Pendidikan seks adalah dialog. Bukan monolog. Pendidikan seks kalau memakai falsafah Paulo Freire adalah membebaskan. Membebaskan mereka untuk berpendapat. Membebaskan mereka untuk berpikir. Sang guru hanya mengarahkan, memberikan informasi kalau jalan yang dipilih ini maka resikonya adalah ini. Kalau jalan yang dipilih itu maka resikonya adalah itu.

Jalan yang dipilih seks setelah nikah maka yang didapat adalah gagap. Gagap alamiah tetapi dengan keterbukaan dan pembelajaran satu sama lain, kegagapan pasti akan menjadi keindahan.

Jalan yang dipilih seks bebas, rekreasi maka yang didapat adalah candu yang tidak bisa dikendalikan. Bagi lelaki bisa menjadi predator alamiah. Bagi perempuan bisa hamil di luar nikah dan kehancuran fisik dan psikis. Belum lagi penyakit kelamin mengancam karena biasanya soal kebersihan kelamin mereka abai, belum lagi gonta ganti pasangan akan menyebabkan mereka beresiko tinggi terkena HIV/AIDS.

Kehancuran masa depan sudah didepan mata kalau kecanduan seks pada anak tidak segera diobati. Butuh waktu, butuh disiplin dan juga butuh bantuan semua pihak. Kasus anak perempuan yang kecanduan seks dengan menyebarkan videonya dan bisa "dibooking" membom akal sehat. Tautannya.

Membahasakan dua pilihan dalam pendidikan seks pada anak-anak tidak semudah orang bilang kawinkan saja. Kawin punya anak lalu siapa yang memberi makan anaknya, mengasuh, mendidik dan menafkahi secara ekonomi. Cerai lalu apa kewajiban mantan istri pada anak atau mantan suami pada mantan istri dan anak.

Berbicara mengenai pendidikan seks itu selalu menyedot, menguras tenaga, pikiran dan waktu. Dalam banyak perjalanan mulai dari tengah kota, pinggiran kota sampai ke perkebunan di tengah kebun sawit, kebun karet ketika berbicara pendidikan seks banyak yang terhenyak.

Bahkan seorang ibu menjadi merdeka dan plong, memeluk pembicara (perempuan) ketika mengetahui kalau dirinya tidak bisa memberi anak lelaki pada suaminya bukan salahnya sebagai istri. Butuh keterbukaan yang bertanggung jawab.

-----

Pendidikan seks pada anak umumnya muncul dengan kata "jangan". Kelaminmu jangan boleh dipegang oleh siapapun, pantatmu juga jangan. Jangan ada yang boleh menurunkan celana dalammu. Jangan mau kalau diminta untuk melepaskan celana, rokmu dengan iming-iming ataupun dengan dalih apapun.

Sudah pasti bingung si anak dengan begitu banyaknya kata jangan. Pusing tujung keliling dengan kata jangan atau tidak boleh.
Menetapkan umur mulai pendidikan seksual juga pusing, tetapi biasanya pada putih biru, kelas tujuh atau kelas delapan. Pandangannya dan keingintahuan perubahan pada tubuh, hormonalnya membuat mereka mencari tahu. Situs porno bukan pendidikan seks yang baik. Justru menjerumuskan.

Pendidikan seks pada anak sekali lagi bukan pada bagaimana menyampaikan materi bertemunya sperma dan sel telur, jangan hamil kalau masih remaja, jangan berbagi foto atau video yang menunjukkan bagian-bagian tubuh dada, kelamin atau bertelanjang tetapi pada membangun kesadaran kalau tubuhnya adalah milik mereka sendiri.  

Jangan pernah tergoda untuk membuktikan cinta dengan berhubungan seksual apalagi sampai membagikan video, foto bagian tubuh, berbugil ria pada pacar atau teman lelaki. Perempuan harus bertanggung jawab pada tubuhnya sendiri.

Butuh dokter, psikolog, psikiater, ahli agama, guru bimbingan konseling yang bersatu padu menyampaikan materi dengan bahasa anak-anak.  Jangan lupa tukang kecap juga perlu. Butuh orang-orang yang berempati, butuh orang yang dengan kasih tulus membantu mencarikan solusi kalau sudah kejadian.

------

Stop menyalahkan perempuan. Stop menyalahkan pakaian perempuan. Kalau mereka masih dalam batas kesopanan norma artinya kepala lelaki yang harus dibor dan dididik terbalik, andai itu ibumu, istrimu atau anak-anakmu. Atau memang kepala mereka adalah kepala ribuan tahun lalu yang menganggap anak perempuan adalah hina musibah, sehingga harus "dibunuh".

Jika isi kepala lelaki adalah khayalan seperti film porno baik gaya barat maupun gaya melayu timur seperti di situs porno yo hancur. Setutup apapun pakaian yang dikenakan oleh perempuan, isi kepala lelaki akan mengobrak-abriknya dan sudah pasti akan terjadi pemerkosaan ataupun pelecehan. Mendekatinya saja tidak boleh, apalagi ini memikirkannya, mengkhayalkannya, pasti akan kejadian sesuai dengan pikiran/khayalannya.

Relasi kuasa, guru, dosen, lintas suku, agama dan ras itu bermain dalam mempermainkan kekuasaan pada perempuan. Jangan menyalahkan setan apalagi iblis, salahkanlah si pelaku karena dia punya kesempatan untuk melakukan atau tidak melakukan pemerkosaan ataupun pelecehan, apalagi kalau sampai berulang.

Salam Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun